Minggu, 15 Januari 2017

PERSPEKTIF MASYARAKAT MENGENAI PENGGUNAAN UANG KEPENG SEBAGAI SARANA UPACARA ADAT DI DESA PEJENG KAJA, GIANYAR

PERSPEKTIF MASYARAKAT MENGENAI PENGGUNAAN UANG KEPENG SEBAGAI SARANA UPACARA ADAT DI DESA PEJENG KAJA, GIANYAR
(SUATU KAJIAN ETNOARKEOLOGI)

OLEH
LINDA NURJAGAD
(1401405019)
PROGRAM STUDI ARKEOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA


PENGANTAR
Etnoarkeologi merupakan salah satu cabang ilmu arkeologi yang mempelajari budaya dan teknologi primitif kontemporer sebagai suatu cara untuk memberikan analogi dan pola untuk menggambarkan budaya masa lampau. Dalam etnoarkeologi dilakukan studi ilmiah tentang kelompok masyarakat yang ditujukan untuk memahami hubungan perilaku yang mendorong terciptanya budaya material.
Studi Etnoarkeologi menekankan pada hubungan tindakan manusia dan budaya bendawi di masa kini untuk menyediakan prinsip-prinsip yang di butuhkan dalam kajian tentang masa lalu. Dalam permasalahan “Perspektif Masyarakat Mengenai Penggunaan Uang Kepeng Cina Sebagai Sarana Upacara Adat di Desa Pejeng Kaja, Gianyar” ini akan dianalisis menggunakan studi dan penelitian etnoarkeologi.
Dalam mendapatkan data-data etnoarkeologi tersebut, dilakukan penelitian langsung menggunakan wawancara mendalam (deep interview) serta melihat langsung objek yang digunakan dalam penelitian. Desa Pejeng merupakan salah satu objek yang ada di Provinsi bali yang baik untuk digunakan sebagai objek kajian budaya etnografis.  Desa ini merupakan salah satu wilayah dimana terdapat banyak tinggalan arkeologis dan kebudayaan masyarakat tradisional, sehingga kajian etnoarkeologi pada wilayah ini sangat baik untuk dijadikan objek penelitian.



FILOSOFI DAN AWAL MULA UANG KEPENG DIFUNGSIKAN DI PULAU DEWATA
Di Pulau Dewata Bali khususnya di Desa Pejeng Kaja, masyarakatnya menyebut uang kepeng Cina dengan sebutan Pis Bolong. Pis Bolong berarti nama untuk mata uang logam Cina yang masuk dan dikenal di Bali sebagai alat pembayaran, yang merupakan akibat dari transaksi perdagangan masyarakat Bali dengan pedagang-pedadang dari Cina.
Uang kepeng atau pis bolong merupakan uang logam yang digunakan sebagai alat tukar pada masa pemerintahan kerajaan Majapahit. Namun sekarang uang kepeng tersebut tidak lagi menjadi alat tukar. Saat ini, fungsi uang kepeng telah berubah menjadi sarana ritual keagamaan atau upacara-upacara adat dalam agama Hindu.
Uang kepeng terbuat dari lima unsur bahan yaitu emas, perak, perunggu, timah, dan besi. Ke-lima unsur tersebut di dalam agama Hindu disebut dengan Panca Dhatu dan secara spiritual merupakan simbol dari Panca Dewata. Dari hal tersebut, maka uang kepeng di kalangan masyarakat Bali memiliki nilai sakral atau religius. Hampir di semua ritual keagamaan Hindu selalu menggunakan uang kepeng dan jumlah uang kepeng yang digunakan  tergantung dari nyasa  yang hendak diwujudkan dalam upacara tersebut. Sarana ritual paling kecil seperti kwangen juga seharusnya menggunakan uang kepeng walaupun saat ini sering diganti dengan uang logam biasa, bahkan ada yang menggantinya dengan uang kertas yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan konsep nyasa.
Panca Dhatu pada uang kepeng baik uang kepeng tradisional asli dari Cina maupun uang kepeng tiruan menurut masyarakat dan kelian adat desa Pejeng tidak telalu mempengaruhi karena pada uang kepeng tiruan tersebut yang terpenting mengandung beberapa unsur dari Panca Dhatu tersebut walaupun tidak sempurna ke lima unsur logam pada simbolisasi Panca Dhatu. Pada simbolisasi Panca Dhatu tersebut mewakili kekuatan 5 Dewata yaitu antara lain :
1. Besi : mewakili kekuatan Dewa Wisnu (Utara)
2. Emas : mewakili kekuatan Mahadewa (Barat)
3. Kuningan : mewakili kekuatan Dewa Siwa (Pusat)
4. Perak : mewakili kekuatan Iswara (Timur)
5. Tembaga : mewakili kekuatan Dewa Brahma (Selatan)
Walaupun tidak seimbang dan tidak memenuhi 5 kekuatan Dewata, uang kepeng tiruan tetap digunakan pada ritual-ritual keagamaan karena semakin lagkanya uang kepeng Cina asli tersebut. Menurut masyarakat adat desa Pejeng, ketersediaan uang kepeng Cina (kepeng asli) yang sudah semakin berkurang, kesulitan tersebut mendatangkan cara baru dari para seniman dalam menanggulangi kelangkaan uang kepeng asli. Banyaknya uang kepeng baru atau buatan yang baru (tiruan) yang dianggap  bisa menutupi kebutuhan terhadap uang kepeng tersebut. Akan tetapi, banyak masyarakat Hindu yang kemudian merasa kurang sempurna aktivitas upacaranya ketika menggunakan kepeng buatan baru (tiruan), karena kualitas uang baru tampaknya dibuat dengan perhitungan yang sangat ekonomis, tidak tahan lama, namun produksi dapat tetap berjalan.
Uang kepeng sebagai salah satu sarana upacara, memiliki peran penting dalam upacara tersebut. Uang kepeng  memiliki kedudukan yang penting sehingga dapat mempengaruhi pelaksanaan upacara. Masyarakat mempercayai bahwa jika salah satu sarana upacara termasuk uang kepeng tersebut tidak ada, maka upacara tersebut diyakini  tidak sempurna. Biasanya pada upacara ngaben, jika salah satu sarana tidak ada atau tidak lengkap, beberapa masyarakat akan memilih menunda sementar pelaksanaan upacara hingga sarana upacara terpenuhi.
Penggunaan uang kepeng di Bali sejak dahulu hingga sekarang  masih tetap terjaga walaupun telah mengalami pergeseran fungsi. Fungsi uang kepeng pada awal masuk di pulau dewata semata-mata hanya sebagai uang kartal atau alat pembayaran  yang mempermudah transaksi perdagangan. Dalam perkembangannya, uang kepeng memiliki banyak fungsi seperti  fungsi religi dan kesenian. Dalam fungsi religinya, uang kepeng dipergunakan sebagai pelengkap upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya.
Dewasa ini, di Bali khususnya di desa Pejeng pada pasar-pasar tradisional banyak beredar uang kepeng tiruan yang dicetak oleh sebagian masyarakat secara informal. Pencetakan ini dimaksudkan untuk mengatasi kelangkaan uang tersebut. Kelangkaan uang kepeng asli disebabkan oleh seringnya umat Hindu melaksanakan upacara yang banyak menggunakan uang kepeng sebagai perlengkapan upacaranya, terlebih pemakaian diluar fungsi upacara.
Masuknya uang kepeng di Bali tidak dapat dipisahkan dengan hubungan dagang  antara Cina dan India. Sejak awal abad masehi, di Asia telah terjadi  kontak dagang yang sangat ramai antara India dan Cina. Kontak dagang ini dilakukan melalui jalur laut karena lebih strategis dan waktu yang dibutuhkan lebih singkat. Ramainya jalur laut ini  membawa implikasi pada daerah-daerah yang dilewati jalur perdagangan tersebut. Salah satu daerah yang ramai di kunjungi oleh pedagang-pedagang India dan Cina tersebut yaitu Pulau Bali.
Dahulu, Cina berdagang ke Indonesia khususnya di pulau Bali bertujuan untuk  membeli hasil bumi di Bali. Transaksi jual-beli tersebut menggunakan uang kepeng yang di bawa oleh orang-orang Cina. Setelah uang kepeng Cina tersebut mulai tersebar di wilayah Bali, Cina kembali membawa barang-barang  berupa kain dan barang-barang pecah belah, akan tetapi beberapa masyarakat Bali menolak bertransaksi menggunakan uang sehingga timbullah barter. Pada akhirnya, karena uang kepeng tersebut tidak digunakan karena adanya barter maka uang kepeng tersebut menumpuk di pulau Bali dalam jumlah besar dan akhirnya untuk memanfaatkan banyaknya  uang kepeng tersebut dibuatkanlah rambut sedana, salang, dan pratima. Selain itu, uang kepeng Cina tersebut juga digunakan sebagai simbol beryadnya kepada para dewa dan leluhur, dengan kata lain uang kepeng tersebut secara tidak sengaja menjadi  bagian dari pelengkap alat upakara di Bali pada umumnya dan di desa Pejeng Kaja khususnya.
Dari segi historis, semua uang yang pernah berlaku di Indonesia kecuali uang kepeng, nilai satuannya dapat diketahui melalui tanda-tanda, huruf, kalimat, dan angka yang tertera pada permukaan uang. Akan tetapi, nilai satuan uang kepeng yang disebut aketeng atau keteng sama sekali tidak tertulis pada permukaan uang. Semua jenis uang kepeng bernilai 1 (satu) keteng dan tidak ada uang kepeng 1 biji bernilai 10 keteng, 100 keteng, atau lebih. Dalam hitungan harga dengan menggunakan uang kepeng, masyarakat Bali hanya mengenal aketeng.


UANG KEPENG UNTUK BER-YADNYA DAN UPAKARA
Menurut masyarakat adat sekitar desa Pejeng kaja, berita-berita atau  informasi mengenai penggunaan uang kepeng  sebagai sarana upacara hanya bersifat asumsi berdasarkan analogi yang bersumber dari cerita yang berkembang dari mulut ke mulut yang diceritakan secara lisan dan turun-temurun.
Berdasarkan cerita rakyat bahwa penggunaan uang kepeng dalam upacara-upacara adat di Bali dimulai sejak pemerintahan raja Jayapangus. Pada masa pemerintahannya, etnis Cina telah berdomisili dan melaksanakan aktivitas perdagangan di Bali. Pada saat itu orang-orang Cina di bawah pimpinan Ngurah Subandar  bersama putrinya yang bernama Kang Chi Wie datang menghadap Sri Maha Raja untuk memohon agar  orang-orang Cina  diijinkan melakukan perdagangan ke wilayah Kintamani, dan permohonannya dikabulkan. Setelah itu, timbul niat Ngurah Subandar untuk menyerahkan  Kang Chi Wei pada sang Raja, dan permintaannya itu diterima pula. Akan tetapi putri Ngurah Subandar tersebut meminta permohonan pada Sri Maharaja agar uang kepeng juga harus digunakan dalam upacara-upacara keagamaan di Bali.
Peredaran uang kepeng sebagai alat tukar mulai menurun sejak Belanda menguasai Bali antara tahun 1846 hingga 1908. Setelah jaman kemerdekaan, uang kepeng tetap terjaga fungsinya sebagai sarana upacara hingga sekarang.
Di Desa Pejeng sendiri, uang kepeng masih difungsikan sebagai alat upakara dan/atau untuk beryadnya serta tetap beredar baik uang kepeng asli maupun tiruan. Adanya uang kepeng tiruan disebabkan oleh seringnya penggunaan uang kepeng Cina asli dalam upacara-upacara di Pura maupun sebagai sari dalam beryadnya. Sehingga saat ini terdapat beberapa pasar tradisional yang menjual uang kepeng tiruan dan melahirkan pengerajin-pengerajin alat upakara dan pratima. Biasanya Pura yang digunakan untuk upacara-upacara adat yang menggunakan uang kepeng sebagai sarana upacaranya yaitu di Pura Puseh Tarukan yang ada di Desa Pejeng Kaja.
Nilai uang kepeng tiruan jauh lebih murah daripada uang kepeng Cina tradisional. Transaksi jual-beli uang kepeng di Bali khususnya di desa Pejeng Kaja terjadi setiap tahun pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September dimana bulan-bulan tersebut adalah bulan baik umat Hindu melangsungkan upacara keagamaan terutama Manusia Yadnya dan Pitra Yadnya.
Dalam jumlah seratus biji uang kepeng dikaitkan sebagai benda yang dibutuhkan sebagai pelengkap upacara misalnya, penebaran uang kepeng pada upacara Sekarura dalam upacara ngaben, menenggelamkan uang kepeng kedalam laut dalam prosesi upacara mepakelem. Dalam pelaksanaan upacara ngaben di bali sistem penguburan dan pembakaran memerlukan berbagai material antara lain tirta (air suci), api, bunga, benang, beras, uang kepeng, diantara sarana tersebut uang kepeng banyak digunakan dalam upacara kematian terutama upacara ngaben.
Artana (2016), menyebutkan bahwa dalam Lontar Kusuma Dewa penggunaan uang kepeng  sebagai pedagingan dalam pembangunan suatu pura antara lain di bagian utama pura dengan uang kepeng sesari 700 keteng, di bagian tengah pura (madya)  dengan sesari uang kepeng sesari 225 keteng, dan di bagian kecil (nista) menggunakan sesari uang kepeng 125 keteng.
Penggunaan uang kepeng baik sebagai pedagingan maupun sarana upacara di pakai sebagai salah satu alat penyucian dan menstanakan para Dewa. Uang kepeng juga digunakan sebagai sesari, sarana persembahyangan, dan sebagai dekorasi. Dalam melaksanakan suatu upacara dari semua jenis banten sebelum dipersembahkan dilengkapi dengan uang kepeng sebagai sesari yang diletakkan di semua jenis banten tersebut.
Dalam upacara pemelaspasan banyak menggunakan sarana upacara diantaranya, uang kepeng. Ardana (2016), bahwa dalam upacara pemelaspasan memiliki arti penting sebagai salah satu sarana penyucian melalui upacara ini yang dipergunakan untuk pelinggih secara rohani yang di pandang telah suci. Selain itu uang kepeng dalam upacara Dewa Yadnya digunakan sebagai sarana dekorasi, yang dibuat dengan cara menkait-kaitkan uang kepeng yang satu dengan yang lainnya, dan diikat dengan benang, serta di beri manik-manik, kain perca warna-warni dan di poles dengan prada (warna emas). Dekorasi ini berupa alat perhiasan yang dipasang di setiap pelinggih pada pura yang melaksanakan upacara.
Dalam upacara Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk menghormati orang yang telah meninggal cukup banyak menggunakan uang kepeng bahkan hampir semua prosesinya menggunakan uang kepeng. Uang kepeng dalam upacara Pitra Yadnya memiliki berbagai fungsi diantaranya, sebagai pengurip-urip, sesari, pemopog, dan wukur. Uang kepeng sebagai pengurip-urip digunakan untuk menghidupkan alat-alat yang digunakan dalam upacara ngaben seperti jenazah, sedangkan dalam sesari uang kepeng berfungsi sebagai inti dari suatu persembahan, pemopog digunakan sebagai pelengkap kekurangan upacara, dan pada wukur uang kepeng digunakan sebagai simbol jasad mendiang yang akan diberikan upacara.
Dalam upacara Rsi Yadnya yaitu upacara korban suci yang ditujukan pada para Pendeta dilaksanakan ketika penobatan calon sulinggih menjadi Pendeta. Rsi Yadnya dapat dilakukan dengan jalan memperlihatkan kehidupan para Pendeta dengan menghaturkan punia dan bertanggung jawab atas pelebon dan penobatan sang Pendeta. Pelaksanaan punia dapat dilakukan dalam bentuk materi yakni dalam bentuk sesari. Dalam Rsi Yadnya, uang kepeng digunakan sebagai imbalan jasa dan bukan digunakan sebagai upah, karena upah diukur berdasarkan lama tidaknya bekerja, sedangkan sesari didasari dengan perasaan tulus ikhlas.
Dalam upacara Manusia Yadnya, yakni korban suci untuk membersihkan manusia secara lahir batin. Upacara ini dilaksanakan sejak bayi  berada dalam kandungan hingga akhir hidupnya. Dalam upacara ini, banyak dibutuhkan sarana upacara diantaranya uang kepeng. Uang kepeng dalam upacara ini digunakan sebagai sarana persembahyangan yang diletakkan dalam kwangen. Pada suatu kwangen tersebut harus diisi benda yang berbentuk bulat, maka diselipkanlah uang kepeng pada kwangen tersebut. Hal tersebut juga sebagai simbol dari Ardacadra (simbol dari bentuk bulan yang melambangkan Ongkara atau Sang Hyang Widhi). Dalam persembahan kwangen yang berisi uang kepeng digunakan untuk memohon keselamatan dari  Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam upacara Butha Yadnya, korban suci yang dipersembahkan kepada alam semesta beserta isinya dan makhluk-makhluk yang lebih rendah dari manusia. Upacara ini dimaksudkan untuk memberikan penyucian kepada alam semesta beserta isinya dan para Butha dan makhluk yang lebih rendah dari manusia. Persembahan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menghilangkan sifat buruk yang ada, sehingga sifat baik dan kekuatannya dapat bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia dan alam. Melalui upacara pecaruan, juga banyak diperlukan sarana upacara, salah satu diantaranya uang kepeng. Uang kepeng dalam upacara mecaru digunakan sebagai tempat berstananya Tuhan beserta segala manifestasiNya.

JENIS-JENIS UANG KEPENG YANG DIGUNAKAN UNTUK UPACARA ADAT
Secara umum, jenis uang kepeng yang digunakan dalam upacara-upacara adat  di Bali khususnya di Desa Pejeng Kaja yaitu segala jenis uang logam baik uang kepeng Cina tradisional, uang kepeng Bali, uang kepeng kerajaan Majapahit, uang kepeng tiruan dari perunggu, maupun uang logam modern.
Uang kepeng Cina yang digunakan pada upacara keagamaan yaitu berasal dari semua dinasti yang meninggalkan uang kepengnya di Bali. Ciri dan bahan uang kepeng dari kedinastian Cina yaitu sebagai berikut :
Dinasti
Jenis Logam (Campuran)
Han
Tembaga, timah (perunggu)
Tang
Emas, perak, besi, tembaga, timah
Song
Tembaga, besi
Yuan
Tembaga, timah (perunggu)
Ming
Tembaga, timah (perunggu)
Qing
Tembaga, seng (kuningan)

Beberapa gambar jenis uang kepeng yang digunakan untuk sarana upacara yaitu sebagai berikut:

 

Bagian muka 










Bagian belakang :







Uang kepeng Cina tradisional yang sering digunakan pada upacara keagamaan masyarakat desa Pejeng kaja di Pura Puseh Tarukan  yaitu uang kepeng dari dinasti Qing dan dinasti Tang.
Uang Kepeng dinasti Qing



Uang Kepeng dinasti Tang



Selain itu juga terdapat uang kepeng tiruan yang terbuat dari timah atau perunggu serta kuningan yang mana saat ini banyak beredar dan digunakan sebagai pelengkap upakara karena kelangkaan uang kepeng Cina tradisional.




Di Bali, terdapat beraneka ragam uang kepeng yang jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi 6 yaitu :
1.      Uang Kepeng Lumrah
Uang kepeng Lumrah yaitu uang kepeng yang digunakan  dalam setiap upacara keagamaan. Uang kepeng ini  bergaris tengah sekitar 3 cm dan berwarna hitam karena bahannya terbuat dari perunggu yang kadar tembaganya tampak lebih besar. Uang kepeng ini  dianggap mempunyai nilai religius dan lazim digunakan untuk membuat patung dewa seperti patung dewa rambut sedana.
 
2.      Uang Kepeng Koci
Uang kepeng Koci yaitu uang kepeng yang bentuknya lebih kecil daripada uang kepeng biasa, dengan garis tengah sekitar 2 cm dan berwarna hitam. Uang ini bahannya sama dengan uang kepeng Lumrah yaitu dibuat dari perunggu yang campuran tembaganya tampak lebih besar.
3.      Uang Kepeng Kerinyah
Uang kepeng Kerinyah yaitu uang kepeng yang bentuk dan besarnya sama dengan uang kepeng biasa, akan tetapi warnanya lebih kuning karena bahannya yang terdapat dari kuningan lebih dominan. Uang kepeng ini tidak memiliki keistimewaan tertentu.
4.      Uang Kepeng Lembang
Uang kepeng Lembang yaitu uang kepeng yang bentuknya lebih besar dari uang kepeng biasa, bergaris tengah sekitar 3 cm, berwarna kuning seperti uang kepeng Kerinyah. Uang kepeng ini sering digunakan sebagai alat judi yang disebut dengan makeles.
5.      Uang Kepeng Jah
Uang Kepeng Jahi yaitu uang kepeng yang  bentuk dan besarnya sama dengan uang kepeng Koci. Uang kepeng ini juga sering digunakan sebagai alat judi yang disebut mapincer.
6.      Uang Kepeng Jimat
Uang kepeng Jimat yaitu uang kepeng yang tidak digunakan sebagai alat pembyaran karena dianggap memiliki nilai magis dalam kepercayaan mistik Bali. Uang kepeng ini memiliki beberapa jenis yaitu pipis Arjuna, pipis Bima, pipis Jaran, dan pipis Gajah.

Munculnya uang kepeng Bali disebabkan tidak adanya batasan atau ukuran yang digunakan dalam beryadnya dalam setiap upacara. Uang kepeng juga memiliki hubungan dengan banten (alat upakara) karena uang kepeng sudah identik dan melekat di kalangan masyarakat Bali. Oleh sebab itu, kemudian Komunitas Parisada Hindu Dharma Bali dibuatkanlah uang kepeng khusus Bali.

Kesimpulan
            Berdasarkan beberapa pembahasan yang telah penulis paparkan, dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya;
a.       Berbicara megenai filosofi penggunaan uang kepeng yang ada di Bali khususnya di Desa Pejeng Kaja, adapun awal mula penggunaan uang kepeng di Desa Pejeng Kaja karena julah uang kepeng yang banyak dan tidak terpakai sehingga penggunaan uang kepeng dalam masyarakat Desa Pejeng Kaja sejak dahulu hingga sekarang  masih tetap terjaga walaupun telah mengalami pergeseran fungsi. Fungsi uang kepeng pada awal masuk di pulau dewata semata-mata hanya sebagai uang kartal atau alat pembayaran  yang mempermudah transaksi perdagangan. Dalam perkembangannya, uang kepeng memiliki banyak fungsi seperti  fungsi religi dan kesenian.
b.      Uang kepeng dalam kegiatan upacara adat di Bali pada umumnya dan Desa Pejeng Kaja pada khususnya, masyrakat menggunakan uang kepeng dalam ritual upacara keagamaan sebagai pedagingan maupun sarana upacara di pakai sebagai salah satu alat penyucian dan menstanakan para Dewa. Uang kepeng juga digunakan sebagai sesari, sarana persembahyangan, dan sebagai dekorasi. Dalam melaksanakan suatu upacara dari semua jenis banten sebelum dipersembahkan dilengkapi dengan uang kepeng sebagai sesari yang diletakkan di semua jenis banten tersebut.
c.       Selain itu terdapat beberapa jenis uang kepeng yang pemakaiannya tidak dikhususkan harus menggunakan uang kepeng asli, sebab uang kepeng tiruan yang terbuat dari timah atau perunggu serta kuningan yang mana saat ini banyak beredar dan digunakan sebagai pelengkap upakara karena kelangkaan uang kepeng Cina tradisional. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya ketersediaan uang kepeng kuno yang terbuat dari perunggu, hal ini lah yang mengakibatkan munculya uang kepeng tiruan yang berbahan dasar kuningan.

Berdasarkan beberapa kesimpulan yang telah penulis paparkan dari beberapa permasalahan, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan uang kepeng yang terdapat di Desa Pejeng Kaja jika diamati dari segi penggunaannya dalam berbagai ritual keagamaan di Desa tersebut masih terus berkesinambungan hingga saat ini. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui pemakaian atau penggunaan uang kepeng dalam ritual keagamaan yang berlangsung sejak pertama kali uang kepeng berkembang di Bali bahkan masih tetap difungsikan sebagai pelengkap sarana upakara dalam ritual keagamaan hingga saat ini.


Narasumber :
1.      Ketut Artana, 45 thn (Kelian adat link. Pejeng Kaja),
2.      Gede Nyoman Ardana, 52 thn (Mangku), dan
3.      Ibu-ibu pengerajin pratima dan upakara.


9 komentar:

  1. artikelnya bagus, namun ada yang mau saya tanyakan, ada gak ya upacara yang tidak boleh menggunakan uang kepeng tiruan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih wira... sepengetahuan saya tidak ada upacara yang tidak boleh mengharuskan penggunaan uang kepeng asli, karena dalam masyarakat fungsi dari uang kepeng tsb adalah sebagai bentuk yadnya (korban suci tulus ikhlas). sehingga tidak ada peng-khususan dalam upacara tertentu :)

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Artikelnya menarik lin. Tapi saya ada pertanyaan,, ketika uang kepeng tidak ada kan lebih baik upacara ditunda,, nah ketika suatu uapacara dilakukan tanpa adanya uang kepeng apakah ada dampak terhadap masyarakat secara langsung?

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih tiara, sebenarnya ketika tidak ada uang kepeng upacara tersebut tidak mesti harus di tunda karena dapat digantikan dengan uang modern jika keadaannya tidak memungkinkan untuk di tunda.

      Hapus
  4. halo linda.. tulisan kamu sudah sanga bagus dan menarik infonya.. keep it up!!
    terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih norma... tulisan kamu juga bermanfaat...semangat juga :)

      Hapus
  5. Tulisannya sangat menarik ya Linda. Saya mau tanya dong, terkait dengan uang kepeng asli yang digunakan pada upacara di Desa Pejeng apakah nanti setelah upacara uang tersebut dikumpulkan kembali untuk digunakan upacara atau dibiarkan saja? Dan apakah uang kepeng asli yang ada di Desa Pejeng merupakan warisan (pusaka) yang diberikan dari satu keturunan kepada keturunan selanjutnya? Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih Jofel, Iya, sepengetahuan saya segala sesuatu seperti uang kepeng tradisional, yang diberikan secara turun temurun oleh pendahulu kita merupakan benda warisan dari para leluhur. lalu uang kepeng yang telah digunakan untuk upacara tersebut beberapa dari uang kepeng tersebut ada yang dibuang ada juga yang diambil kembali , tergantung bentuk yadnya dari uang kepeng tersebut, misalnya seperti Salang.

      Hapus