Rabu, 18 Januari 2017

MAKNA TOPENG BARONG BRUTUK DALAM TARIAN SAKRAL PADA UPACARA ADAT MASYARAKAT DESA TRUNYAN, KINTAMANI, KABUPATEN BANGLI, BALI

Catatan Etnografi

Oleh:
Zahratunnisa Deban (1401405025)
Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana
2017



BARONG BRUTUK

Barong diperkirakan berasal dari kata “bahrwang” yang sering kali diartikan sebagai binatang beruang, seekor binatang mitologi yang mempunyai kekuatan gaib dan dianggap sebagai pelindung. Secara umum adapun jenis-jenis barong di bali meliputi: Barong Ket (Ketket), Barong Bangkal, Barong Asu, Barong Gajah, Barong Macan, Barong Landung, Barong Blasblasan. Selain jenis barong tersebut, ada jenis barong lain yang tergolong unik, klasik dan sangat disakralkan oleh masyarakat setempat, barong tersebut diberi nama Barong Brutuk. Barong ini terdapat di Desa Trunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli.
Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuna dan kecil yang letaknya terpencil di tepi Danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, di kaki Bukit Abang. Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga dan Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Aga berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Di desa ini terdapat pohon yang sangat harum, berfungsi sebagai penyerap bau busuk dari mayat-mayat yang dikuburkan dengan sistem penguburan unik di tempat penguburan pada desa tersebut. Nama pohon itu adalah Taru Menyan yang diyakini sebagai asal mula nama desa Trunyan. Pada Purnama Sasih Kapat, masyarakat desa Trunyan merayakan upacara adat dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sang Hyang Dedari.
Pagelaran Tarian Barong Brutuk dilaksanakan saat dimulainya Hari Raya Odalan di Pura Ratu Pancering Jagat, berlangsung selama 3 hari. Barong Brutuk berjumlah 21 orang, sesuai dengan jumlah topeng yang ada di tempat penyimpanan, kabarnya topeng ini bisa berubah-ubah jumlahnya tiap kali dibuka tempat penyimpanannya, namun hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat dan mengetahui hal tersebut. Topeng barong Brutuk terbuat dari batok kelapa dengan bentuk wajah bulat sederhana berwarna hitam dengan lukisan mata berwarna putih atau coklat. Barong Brutuk merupakan penggambaran unen-unen (anak buah) Ratu Pancering Jagat. Barong Brutuk ditarikan oleh para penari pria lajang/bajang yang diambil dari anggota sekaa truna (karang taruna) yang ada di desa Trunyan, tanpa adanya musik pengiring. Para pria lajang/bajang dipilih sebagai penari Barong Brutuk karena dianggap masih suci/murni oleh masyarakat sehingga dipercaya sebagai penari dari tarian sakral Barong Brutuk tersebut.
Sebelum menarikan barong-barong sakral itu, para taruna harus melewati proses sakralisasi (proses penyucian diri) selama 42 hari. Selama masa penyucian itu, mereka tinggal di sekitar Bhatara Datonta (arca megalitik, dipercaya sebagai perwujudan dari Ratu Pancering Jagat). Setiap hari bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian kuna yang disebut Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan para wanita di kampungnya, dilarang berjudi (metajen, meceki, medom, mespirit, dll.) serta dilarang minum-minuman keras dan mengonsumsi obat-obatan terlarang dan sejenisnya. Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian, ialah mengumpulkan daun-daun pisang dari desa Pinggan (hanya daun pisang pilihan, diantaranya: daun pisang dangsaba, daun pisang ketip, dan daun pisang temaga). Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan kostum yang akan digunakan oleh para penari Brutuk. Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana dari daun pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada bahu, di bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan celana dalam yang juga dibuat dari tali pohon pisang. Tidak diketahui mengapa daun-daun pisang itu harus dari desa Pinggan (dengan daun-daun pisang pilihan), begitu juga untuk masa penyucian selama 42 hari. Menurut masyarakat hal itu sudah mentradisi dan sudah seperti itu dari dulunya. Namun, untuk alasan mengapa menggunakan daun pisang sebagai kostum/busana penari Barong Brutuk ialah dikarenakan masyarakat desa Trunyan memanfaatkan bahan alam yang memang tersedia melimpah di sekitar desa, yakni daun pisang, sebagai bentuk pendekatan diri dan rasa syukur masyarakat terhadap hasil alam sekitar tersebut.
Pada hari pementasan (hari upacara sakral), Barong Brutuk mulai menari di pagi hari. Mereka menari di areal pura, mulai dari jeroan, jaba tengah dan jaba pura. Mereka berlari-lari dan memecut ke arah masyarakat yang menontonnya. Pecutan Barong Brutuk ini rupanya berawal dari penyakit cacar dan penyakit kulit lainnya yang pernah mewabah di Desa Trunyan. Dulu masyarakat mengobati penyakit itu dengan pecut hingga luka berdarah dan akhirnya kering dengan sendirinya. Oleh sebab itu, masyarakat setempat percaya bahwa pecutan akan memberikan kesembuhan dan keselamatan. Di akhir pementasan (sore hari) penari Barong Brutuk melepas topeng dan pakaiannya lalu melukat atau mandi di danau. Rangkaian tarian ditutup dengan penari melakukan persembahyangan dan makan bersama (megibung).


MAKNA DALAM TARIAN SAKRAL

Tersebut dalam Prasasti Trunyan, pada tahun 813 Saka (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun tempat suci. Tempat suci dibangun berupa bangunan bertingkat tujuh, yang merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta. Tempat suci bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat. Setiap dua tahun sekali di pura ini digelar upacara besar. Tepatnya pada Purnama Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari. Sayangnya, tarian Sanghyang Dedari kini sudah punah, tidak ada lagi yang menarikannya. Kini yang ada hanya Tari Barong Brutuk dalam pagelaran ritual keagamaan desa adat Trunyan.
Tradisi Topeng Barong Brutuk dalam tarian sakral Barong brutuk dipercaya merupakan kelanjutan dari tradisi tarian sakral pada masa pra-sejarah Bali di desa Trunyan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya arca Bhatara Da Tonta, yang merupakan arca megalitik, yang dipercaya oleh masyarakat merupakan perwujudan dari Ratu Gede Pancering Jagat yang memiliki unen-unen (anak buah) yang digambarkan dalam bentuk Topeng-Topeng Barong Brutuk tersebut. Awalnya, dalam tarian sakral Barong Brutuk para pelakon ditandai dengan kedok wajah sebagai penanda. Kemudian tradisi itu berlanjut dengan menggunakan topeng sebagai pengganti dari kedok muka tersebut, namun tidak diketahui sejak kapan tradisi kedok muka Barong Brutuk tersebut beganti menjadi bentuk Topeng Barong Brutuk.
Topeng Barong Brutuk yang ada di desa Trunyan di masa kini, memiliki beberapa peran dalam pementasannya pada tarian sakral Barong Brutuk. Peran-peran tersebut, ialah: Raja Brutuk, Ratu Brutuk, Patih dan Kakak Sang Ratu, peran-peran ini ditandai dengan adanya janur (dengan bunga) pada rambut/kepala topeng yang memerankan. Selebihnya memerankan unen-unen (anak buah) Brutuk.
Barong Brutuk adalah tarian Barong yang dipercaya membawa keselamatan dan berkah bagi penduduk Desa Trunyan yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Tarian yang merupakan penggambaran kehidupan para leluhur di jaman dulu sebagai unen-unen (anak buah) dari leluhur orang Trunyan, yakni Ratu Sakti Pancering Jagat dengan istrinya Ratu Ayu Dalem Pingit Dasar. Lecutan cambuk dari penari Topeng Barong Brutuk saat menarikan tarian sakral tersebut dipercaya dapat memberi kesembuhan (tamba/obat) bagi orang yang sakit, juga lembaran-lembaran daun kraras (daun pisang kering) yang menjadi kostum penari Topeng Barong Brutuk yang dipercaya dapat memberi kesembuhan bagi orang yang sakit, kesuburan bagi sawah garapan masyarakat (bila ditebarkan disawah-sawah tersebut) dan penolak malapetaka bagi rumah-rumah masyarakat (apabila disimpan didalamnya).
Barong Brutuk dipentaskan setiap dua tahun sekali, pada upacara Ngusaba Pura Pancering Jagat yakni pada Purnama Kapat. Purnama Kapat (bulan Purnama ke-empat dalam penanggalan Bali) itu diberi kode Kapat Lanang dan Kapat Wadon oleh penduduk. Barong Brutuk hanya dimainkan pada Kapat Lanang oleh para Teruna (remaja pria). Tahun berikutnya, saat Kapat Wadon, Barong Brutuk tidak dipentaskan. Pada Ngusaba di Kapat Wadon ini, yang aktif adalah para Daa Bunga  (remaja puteri). Mereka akan mengisi kegiatan upacara dengan menenun kain suci. Itulah sebabnya secara natural, Barong Brutuk hanya dipentaskan setiap dua tahun sekali.
Secara niskala, Barong Brutuk adalah simbol penguasa di Desa Trunyan (Ida Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar (perempuan) dan Ratu Sakti Pancering Jagat (laki-laki) atau dalam prasasti disebut Ratu Datonta). Barong Brutuk menanamkan pengetahuan tentang leluhur kepada generasi penerus mereka. “Barong Brutuk merupakan simbol pertemuan perempuan dan laki-laki sebagai proses kehidupan manusia. Dalam agama Hindu disebut Purusa dan Pradana,” tutur Jero Mangku Kaler, Jero Mangku di Pura Pancering Jagat.



Gambar Barong Brutuk (Topeng dan Kostumnya)












Narasumber:
Jero Mangku Pura Pancering Jagat
Kepala Desa Trunyan
Masyarakat Desa Trunyan

Sumber Gambar:
http://balinatha.blogspot.com/
http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/
http://balebengong.net/
https://nimadesriandani.wordpress.com/
http://kesusastraandanbudayabali.blogspot.co.id/

Senin, 16 Januari 2017

MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR GEREJA SANTO YOSEPH DENPASAR BALI


MAKNA SIMBOLIK ARSITEKTUR GEREJA SANTO YOSEPH 
DENPASAR BALI
OLEH : MAULANA FAJRINNAFI 1401405036

PENDAHULUAN
Berawal dari sebuah gudang penyimpanan palawija bangsa Belanda yang berada di jalan Kepundung no. 2 Denpasar pada tahun 1935 yang masih di kelilingi rerimbunan pohon sehingga jarang sekali ada orang yang tinggal di sekitarnya yang terkesan angker. Di gudang itulah pertama kali difungsikan sebagai kapel oleh Pater Kersten yang tepatnya berada di kamar kecil ukuran 4x5 di bagian belakang. Kapel ini masih berbentuk sederhana berdinding kayu.
Sekitar tahun 1936, yang mulanya hanya kapel kecil akhirnya berganti menjadi gereja sederhana yang beratapkan pohon kelapa dan dinding masih dari bedeg (anyaman bambu) setelah tanah diatas gudang tadi dibeli. Setelah selesai, kapel tersebut digunakan untuk melayani karyawan orang-orang Belanda dan umat Katolik di Denpasar dan sekitarnya.
Akulturasi budaya sangat tampak jelas pada bangunan ini dengan unsur budaya Bali yang sangat kuat. Hal ini dikarenakan pada 8 Desember 1955 renovasi secara total dilakukan pada gereja ini dengan arsitek atau undagi dari Bali sendiri yang bernama Ida Bagus Tugur. Baik bentuk, desain dan ornamen semua dibuat oleh undagi serta yang mengubah gereja ini menjadi sebuah gedung yang kokoh berdinding batu bata yang bercampur kapur serta beratapkan ijuk. Perubahan atap terjadi lagi sekitar tahun 1980-an dengan merubah atap yang berawal dari ijuk diganti dengan atap seng dengan tujuan dapat bertahan lama.
Toleransi umat beragama memang sudah berlangsung dari dulu oleh orang-orang Indonesia tak terkecuali pada renovasi gereja ini sekitar tahun 1990-an. Renovasi kali ini melibatkan campur tangan arsitek orang muslim dari Jogja yang bernama Hariyono. Renovasi dilakukan karena semakin banyaknya jemaat yang beribadah disini sehingga mengharuskan untuk memperluas ruang ibadah dengan membongkar lorong menjadikan lebih luasnya tempat ibadah. Tak hanya itu saja, pembongkaran ruangan yang dulunya kamar sekarang berubah menjadi pendopo dan pembuatan balkon dibagian atas (lantai 2).



ISI
Gereja santo yoseph memiliki keunikan tersendiri dibidang arsitekturnya yakni dengan memadukan budaya lokal di dalamnya. Bangunan yang dulunya gudang dan ini berubah menjadi gereja yang besar dan megah ini kini memiliki jumlah jemaat yang terus bertambah sehingga menjadikan perluasan ruang jemaat tanpa memperluas bangunan karena sudah terbatasnya lahan. Gereja ini konsep dasarnya tidak jauh beda dengan gereja pada umumnya, hanya saja terdapat banyak ornamen serta beberapa konsep bangunan yang ada di Bali seperti atap dari ijuk dan terdapat bangunan menyerupai bale kulkul yang biasa dijumpai pada bangunan pura.
Gereja katholik kaya akan ornament dan ukiran untuk memperindah bangunan geraja serta sebagai media pembelajaran bagi jemaatnya. Pada gereja santo Yoseph sendiri mencirikan tentang kekhasan dari gereja katholik pada umumnya, terlebih terjadinya akulturasi terhadap budaya Bali yang sangat kaya seni hiasnya menjadikan gereja ini tampak tegas keindahannya. Dibagian depan gereja sudah tampak banyaknya ornamen hiasan budaya Bali yang sangat kental serta di dalam gereja santo Yoseph terdapat unsur Bali yang masih banyak dipakai.
Memasuki bangunan gereja, sudah di sambut dengan patung Bunda Maria dan juga santo Yoseph. Di atas atap depan terdapat 7 malaikat menyerupai konsep yang ada pada bangunan hindu, sebelum memasuki bangunan suci terdapat naga berkepala 7, hal ini merupakan implementasi dari kutip cerita yang ada di Injil yang merupakan penggambaran dari 7 pintu surga. Angka 7 sendiri dianggap sebagai angka kesempurnaan bagi tradisi Yahudi yang menjadi kepercayaan umat katholik sampai saat ini.
Tampak dari depan gereja ini dipenuhi dengan ornament serta panel-panel yang dikutip dari Injil. Pada gereja ini terdapat tiga pintu yaitu satu pintu di utara yang merupakan pintu utama dan dua pintu di selatan yang dibuat saat pemugaran. Di bagian atas pintu selatan terdapat relief dua malaikat yang sedang menyembah sebuah pohon, relief ini memiliki makna sebagai perlambangan kesempurnaan hidup. Di antara pintu selatan ini dibagian bawah terdapat sebuah relief malaikat yang digambarkan sebagai santo Michael sedang menginjak setan yang melambangkan manifestasi dari perjuangan manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup yang selalu dibayangi oleh banyak godaan.
Terdapat banyak panel yang ada pada dinding depan gereja ini, penulis berusaha menjelasan apa makna dari setiap panel yang ada berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus gereja tersebut. Penjelasan akan dimulai dari sisi selatan ke utara dengan jumlah panel 20 diantaranya:




Modifikasi salib seperti pedang yang memiliki makna dengan salib dapat mengalahkan roh jahat, yang disini dilambangkan sebagai ular.

Seekor domba yang di gendong oleh manusia yang menggambarkan manusia sebagai Yesus yang selalu merangkul seluruh umatnya, yang dilambangkan seekor domba.


Sikap tangan berdoa yang berarti setiap memasuki tempat suci di harapkan dengan tujuan yang baik seperti dengan berdoa meminta yang terbaik untuk hidup.

Simbol kitab injil yang melambangkan bahwa injil harus di sebarkan ke seluruh dunia.

Pohon anggur dilambangkan sebagai Yesus yang senantiasa memberikan kesegaran terhadap setiap manusia disaat kehausan.

Induk burung yang sedang melindungi anak-anaknya yang di lambangkan sebagai Yesus yang merelakan dirinya untuk selalu melindungi manusia

Ikan yang dilambangkan sebagai injil yang mana pada panel ini menjelaskan bahwa Yesus selalu memberikan ikan dengan makna selalu memberikan injil untuk dijadikannya sebuah pedoman hidup.

Sebuah lilin yang diartikan sebagai cahaya, panel ini mengandung makna bahwa Yohanes yang mendalami tentang injil dapat memberikan cahaya untuk umat manusia.

Kobaran api, api sendiri memiliki dua makna yaiu sebagai cahaya penerangan dan dapat diartikan juga sebagai neraka.

Panel ini menggambarkan simbol dari agama katholik dengan makna bahwa gereja tersebut merupakan gereja katholik. 
Panel ini terdapat pada kiri pintu masuk utama, menggambarkan wadah anggur dan cahaya dibelakangnya yang diartikan sebagai jantung Yesus yang senantiasa memberikan air kehidupan dan penerangan hidup bagi umat manusia.

Panel ini terdapat pada kanan pintu masuk utama, menggambarkan wadah anggur dan cahaya dibelakangnya yang diartikan sebagai jantung Yesus yang senantiasa memberikan air kehidupan dan penerangan hidup bagi umat manusia.

Penggambaran dari santo Paulus sedang membawa pedang dan kitab. Santo Paulus sendiri terkenal sebagai tokoh yang berani dalam menyebarkan agama. Pedang sendiri memiliki dua sisi yang tajam, disini dapat diartikan bahwa setiap tingkah laku manusia dia sendiri yang memilihnya apakah memilih sisi yang baik ataupun sebaliknya memilih sisi yang buruk.
 Manusia mencari ikan melambangkan bahwa Yesus selalu menyebarkan banyak ikan(injil) untuk dicari sebagai pedoman hidup.
Domba yang memakan buah kurma menggambarkan manusia yang selalu mencari keberkahan hidup dari Yesus.

Lembu merupakan penggambaran dari santo Lucas yang memiliki sifat lemah lembutnya saat menyebarkan agama ke seluruh umat manusia.

Mahkota yang melambangkan kejayaan agama katolik.

Lentera yang diartikan sebagai agama katolik selalu memberikan pencerahan kepada umat manusia.

Merupakan simbol kristus

 Penggambaran santo Yohanes yang terkenal sebagai tokoh yang memperdalam injil dengan baik.

Pada pintu utama dari gereja santo Yoseph ini kaya akan ornament hias yang diukir pada pintu yang besar dan kokoh, terdapat ukiran dua malaikat dengan posisi saling menyembah. Pada keadaan pintu tertutup keduanya dalam posisi saling menyembah, sedangkan apabila pintu tersebut dibuka, posisi keduanya akan berubah menyembah salib  yang ada di dalam dengan makna apabila memasuki gereja pikiran hati dan niat harus dimantapkan untuk berdoa dan diharapkan tidak ada niat-niat yang lain terlebih untuk niat yang buruk.
Pada pilar gereja juga dibuatkan relief yang menceritakan beberapa tokoh terkenal dalam menyebarkan injil yang sifatnya dapat dijadikan teladan, diantaranya:
 


Relief pada sisi utara menceritakan tentang kehidupan dari santo Paulus dengan sifat beraninya menyebarkan agama meski banyak godaan yang harus dilewatinya.




Relief pada sisi timur menceritakan kisah tentang santo Yohanes yang sedang membaktis kepada Yesus.



Relief pada sisi selatan menceritakan tentang Bunda Maria dengan kerendahan hati dan sifat setianya meski banyak godaan yang selalu mengikutinya.




Relief pada sisi barat mengisahkan kehidupan dari santo Yoseph




Relief pada sisi utara menggambarkan seorang santo Petrus, beliau adalah seorang paus pertama.




Relief pada sisi timur menceritakan bahwa Allah senantiasa memberikan kehidupan kepada umat manusia.




Relief pada sisi selatan menceritakan seorang Abraham yang merupakan perpanjangan atau tangan kanan dari Tuhan untuk membuat sepuluh perintah Allah dan memberikannya kepada Yohanes untuk disebarkan kepada umat manusia.




Relief pada sisi barat menggambarkan Yesus membawa jantung yang mana Yesus senantiasa memberikan kehidupan dan pencerahan kepada seluruh umat manusia.


Banyaknya ornamen yang menghiasi gereja ini membuat tampak seriusnya pembuatan gereja ini sehingga mempunyai ciri khas tersendiri, terlebih tidak hanya bagian luar saja yang dipadati oleh berbagai hiasan yang mempercantik bangunan gereja melainkan di bagian dalam gereja juga terdapat berbagai hiasan yang kental akan nuansa seni yang tinggi. Memasuki gereja lewat pintu utama akan disambut oleh patung Yesus dan Bunda Maria tepat di atas kanan kiri tempat air suci. Di bagian dalam gereja hampir sama dengan gereja pada umumnya, terdapat jendela dengan jarak yang cukup rapat dan banyak, jendela ini hanya berfungi sebagai sirkulasi keluar masuknya udara, namun pada jendela bagian utara terdapat jendela dengan hiasan-hiasan yang beberapa memiliki makna dan juga sebagai ornamen penghias saja. Ada beberapa ornamen yang memiliki makna tersendiri meliputi ornamen dengan gambar burung rajawali yang dilambangkan sebagai santo Yoseph karena pendalaman beliau terhadap Injil sudah dalam, gambar singa dilambangkan sebagai santo Marqus karena sifat tegas yang dimilikinya, gambar seekor lembu yang dilambangkan sebagai santo Lugas kerena sifat lemah lembutnya dalam menyebarkan Injil. Di bagian dinding depan terdapat sebuah lukisan yang langsung menempel pada tembok dengan lukisan menyerupai gunungan yang ada di pewayangan, gunungan sendiri dimaknai sebagai dunia sedangkan gambar yang ada didalamnya menceritakan kehidupan yang ada didalam dunia itu sendiri.
Salah satu unsur yang ada disetiap gereja-gereja pada umumnya yaitu altar dan tabernakel yang berada di bagian depan, tepat diatas tabernakel terdapat salib yang dihiasi dengan ornamen yang kental dengan nuansa khas Bali. Pada kanan kiri salib terdapat relief santo Yohanes (kanan) dan Bunda Maria (kiri) yang mana relief ini bercerita tentang sebelum Yesus melakukan kebaktiannya dia berpesan kepada santo Yohanes untuk menghormati Bunda Maria seperti ibundanya sendiri, karena Yesus hanya mewariskan ibundanya untuk umat-umatnya. Yesus juga berpesan untuk umatnya supaya menjaga baik Bunda Maria. Pada bagian atas salib terdapat relief Yesus yang terlepas dari kebaktiannya dengan ornamen khas Balinya. Pada altar bagian depan terdapat sebuah ukiran induk angsa yang memberikan makan kepada anaknya. Relief ini bercerita bahwa pada saat musim dingin sang induk kesulitan mendapatkan makanan untuk anaknya, dia mengorbankan dirinya tersakiti dengan cara mencabik tubuhnya dengan tujuan supaya anaknya dapat bertahan hidup dengan memakan tubuhnya dan meminum darahnya, hanya demi keberlangsungan hidup anak-anaknya. Dari cerita tersebut dapat dimaknai bahwa sebagai umat katholik harus berani rela berkorban demi kepentingan orang lain terutama banyak orang. Pada dinding depan bagian selatan terdapat sebuah relief pohon kalpataru yang bercerita tentang kalahiran Yesus pada hari natal beserta suasana disekitarnya.

PENUTUP
Gereja santo Yoseph tampil dengan konsep akulturasi budaya menunjukan kerukunan umat beragama yang ada di Indonesia umumnya dan di Bali khususnya yang memiliki keberagaman yang cukup tinggi, gereja yang memiliki ornamen hias yang cukup banyak merupakan salah sau ciri dari gereja-gereja katholik. Dalam gereja ini banyak menampilkan atau menonjolkan ciri dari budaya setempat namun tidak menghilangkan konsep dasarnya.
Ornamen serta relief pada gereja ini memiliki banyak makna yang terkandung di dalamnya, sehingga banyak pembelajaran yang terkandung dibalik keindahan seni yang dituangkan dalam bentuk ornamen yang mempercantik bangunan gereja. Dari hal tersebut dapat dijadikan juga sebagai sarana pembelajaran untuk lebih mudah mengingat melalui simbol-simbol yang dibuat.   

LAMPIRAN



Gereja Santo Yoseph tampak depan



            Pintu utama                                                 pintu selatan
                                



Tabernakel dan motif di bawah altar


Relief di dinding bagian selatan         


Lukisan di dinding bagian atas