Jumat, 30 Desember 2016

Cara Pembuatan Kain Songket Manggarai, Flores, NTT

CARA PEMBUATAN KAIN SONGKET MANGGARAI, FLORES, NTT
OLEH : 
LIDIA BIAN
1401405032
ARKEOLOGI


Cara Membuat Kain Songket Manggarai Flores NTT
            Di Manggarai Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kampung sentra pembuatan kain tenun adat Manggarai. Selain cara pembuatannya yang unik, ragam motifnya pun tidak sama dengan motif kain tenun di Flores pada umumnya. Kaum hawa di kampung tersebut menenun tidak di rumah masing-masing, namun karya seni tradisional itu dikerjakan secara bersama-sama di halaman rumah adat kampung. Cara kerja seperti itu sudah berlangsung turun temurun.Seperti yang bisa di lihat di kampung Ruum Desa Kole Kecamatan Satar Mese, kaum hawa tidak menenun di rumah masing-masing, namun pekerjaan menenun berpusat di halaman rumah adat secara bersama-sama. Kebiasaan menenun seperti ini sudah berlangsung turun temurun. Ragam corak dan motif kain tenun kampung Ruum juga sangat berbeda rupa dengan motif songket umumnya. Jika pada kain songket Manggarai dan kain tenun di Nusa Tenggara Timur, umumnya motif kain berukuran besar dengan warna dominan kuning emas dan merah, namun pada kain tenun di desa Kole ini, ukuran motif sangat kecil dan didominasi warna pasangan hitam putih serta merah hijau.Kain tenunan di kampung ini dikenal dengan sebutan kain Todo, yakni kain kebesaran yang biasa dipakai Raja Todo dulu. Kain berbahan sutera ini konon terbuat dari kapas yang diolah langsung oleh penenun. Namun sekarang para penenun kain Todo hanya mengandalkan benang lungsin berbahan sutera. Cara kerjanya mirip dengan proses tenun Silungkang.Proses pembuatan kain tenun Todo sangat rumit bahkan lebih sulit dari membuat kain tenun pada umumnya. Sebab selain benang yang dipakai untuk membuat tenunan kain todo berukuran sangat kecil ragam motif dan coraknya semua berukuran kecil dan tidak memiliki simbol tertentu. Motif pada kain todo semuanya misteri.Jika dicermati secara seksama, di kain tenun todo mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya.nilai-nilai itu antara lain, kesakralan, keindahan, ketekunan, ketelitian dan kesabaran.Untuk menyelesaikan satu helai kain penenun rata-rata menghabiskan waktu empat hari hingga satu minggu, tergantung tingkat kerumitan kerja. Sementara harga jual kain tenun berkisar 150 Ribu hingga 350 Ribu bahkan yang paling mahal dibandrol 2 Juta Rupiah.Minimnya perhatian pemda setempat membuat pemasaran kain tenun todo hanya mengandalkan sistim jual beli langsung baik oleh kelompok pedagang kain tenun maupun pembeli perorangan yang datang langsung ke kampung Ruum. Para petenun kapung ruum berharap agar Pemda Manggarai dapat membantu permodalan bagi usaha tenun di kampung yang berpenduduk tidak lebih dari 25 kepala keluarga ini.


Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya.
Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak,  atau doa porong langkas haeng ntala, yang artinya  supaya senantiasa tinggi sampai bintang.Maksudnya, agar senantiasa sehat, umur panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup.
Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan sikap bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.
Sarung dari Manggarai yang lazim disebut Songket mengandung banyak makna dari motif-motif yang ada seperti: Motif Bunga, dalam bahasa Manggarai Wela kawong, bermkana Interpendensi antara manusia dengan alam di sekitarnya. Motif Laba-laba/ Ranggang, Bersimbol kejujuran dan kerja keras, Dan menegaskan ketertautan antara rumah dan kebun/ Gendang one agu lingko pe'ang. struktur atap rumah menyerupai jaring laba-laba, demikianpun pembagian tanah untuk perkebunan juga menyerupai sarang laba-laba. simbol ini memberi makna bahwa orang manggarai selalu menjaga kesatuan antara rumah tempat berteduh dengan kebun/ladang/sawah tempat mendapatkan nafkah.Hal ini juga mengedepankan peran perhitungan (matematis) nenek moyang orang Manggarai yang sudah berkembang sejak zaman dahulu kala. 
Proses pembuatan selembar kain Songket yang seperti di atas membutuhkan waktu yang lama 6 - 7 bulan, karena membutuhkan sinar matahari yang panas untuk mengeringkan warna yang asli/ Natural Colour yang direndam selama seminggu di dalam periuk tanah yang telah tersedia warnanya. kadang tergantung dari benang dan warnanya, jika benang dari toko/Pabrik direndam kedalam warna Wantex atau chemical colour mungkin hanya satu malam dan jika benang asli dari kapas yang hasil pintalan lalu direndam kedalam warna ramuan tradisional membutuhkan waktu seminggu sampai warnanya benar-benar meresap kedalam benang kapas tersebut.Jadi tidak heran jika penduduk kampung menjual selembar kain Songket yang asli dari benang kapas dengan harga 3 - 5 juta rupiah, sementara kain Songket yang terbuat dari warna wantex harganya 700 - 950 Ribu rupiah, dan ini banyak kita jumpa di pasar-pasar lokal di Manggarai Barat dan kadang para penjual datang kerumah-rumah penduduk, hotel dan losmen untuk menawarkan kain Songket kepada tamu-tamu hotel.Saat ini sudah jarang sekali kita menemukan kain Songket dari benang kapas, karena kapas juga sudah menjadi barang termahal di Manggarai Barat, Jadi jika kita ingin mendapatkan Kain Songket yang asli dengan motif seperti di atas, kita harus memesannya langsung ke penduduk/pengrajin di kampung-kampung yang lagi aktif menenun, dan ada kemungkinan harganya pun berbeda, bisa lebih mahal atau lebih murah tergantung negosiasi.Penduduk asli pulau Flores yang mendiami wilayah Manggarai Flores Barat selalu mengenakan kain Songket setiap hari, baik dalam upacara adat maupun upacara kenegaraan, dalam bentuk Jas, Topi dan Rompi. Keseragaman ini akan terlihat jelas jika ada acara tari caci atau tandak dan penyambutan para pejabat tinggi negara.

Motif kain songket Manggarai





motif kain songket manggarai
















\





                                          

Arsitektur Sao Pile, Kampung Adat Wajo, Nagekeo, Flores

ARSITEKTUR SAO PILE (KAMPUNG ADAT WAJO), NAGEKEO, FLORES
OLEH : 
NOBERTUS  NECKE
1401405034

PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
            Nagekeo merupakan salah satu kabupaten yang memiliki beragam budaya. Keanekaragaman budaya ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan juga masyarakat pendukungnya. Keunikan budaya tersebut dimanifestasikan dalam rumah adat dan juga ornamen pelengkapnya. Tentunya kebudayaan nagekeo sedikit berbeda dengan kebudayaan ngada walaupun sebenarnya masih dalam satu kesatuan. Hal konkret yang bisa dijadikan study komparatif adalah rumah adat.
            Rumah adat masyarakat nagekeo disebut sebagai sao pile, suatu rumah tradisional yang mencirikan masyarakat nagekeo itu sendiri.  Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting dalam pembentuk karakter masyarakat nagekeo. Sa’o Pile tersebut terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta” yang mempunyai fungsi sosial dan religius. Disebut sebagai Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula.
Bertolak dari hal ini, Sao Pile mempunyai gaya arsitektur yang unik. Arsitektur sao pile masih bercorak tradisional, seperti yang ada  pada rumah adat di pulau Flores pada umumnya. Dalam penelitian ini penulis mencoba membedah arsitektur Sao Pile yang terdapat di kampung Wajo. Dimana dalam dalam Sao Pile tersebut terdapat dua patung masa lalu yang diyakini masyarakat setempat sebagai penjaga kampung. Keberadaan dua patung ini juga mempengaruhi pola arsitektur Sao Pile pada kampung Wajo.
            Selain itu, karakteristik Arsitektur Sao Pile di kampung Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat.  Yang mana kedudukan Sao Pile ini terletak pada kontur yang lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang di laut’ (bagian Selatan)  yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pola perkampungan kampung adat Wajo?
2.      Bagaimana arsitektur Sao Pile dan tahapan pembuatannya?
3.      Bagaimana eksistensi Sao Pile dalam upacara adat kampung Wajo?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.      Menjelaskan secara singkat pola pemukiman kampung Wajo
2.      Mendeskripsikan arsitektur Sao Pile dan tahapan pembuatannya
3.      Menjelaskan upacara adat yang berkaitan dengan pembangunan Sao Pile



PEMBAHASAN
2.1    POLA PERKAMPUNGAN   ADAT  WAJO
             Kampung Adat Wajo berada di Desa Wajo, Kecamatan Keo-Tengah, Kabupaten Nagekeo. Kabupaten ini secara geografis terletak diantara 80 26’ 00’’-80 64’ 40” Lintang Selatan dan 1210 6’ 20”-1210 32’ 00” Bujur Timur. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian Selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Ende, sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Ngada.
Menurut bapak Petrus Ndapa karakteristik Arsitektur Sao Pile di kampung Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat. PolaPerkampungan adat Wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunan disekitarnya (wawancara 11 November 2016).
            Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang di laut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi arsitektur serta pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.
Filosofi yang menjadi bahan acuan bagi masyarakat wajo dalam menentukan orientasi pola perkampungannya adalah, sebagai berikut;
·      Terdapat ketentuan-ketentuan khusus dalam Pola Perkampungan adat Wajo, misalnya arah jalan masuk, baik dalam keseharian maupun ritual adat, yakni harus melalui tangi Kodi, sebagai pintu masuk semua rangkaian kegiatan adat dengan ketentuan bila naik ke Sa’o Pile (Rumah Pemali), harus melepas alas kaki (sandal) dan mengenakan sarung adat.
·      Arah masuk kampung adatdimulai dengan pola melingkar, dimulai dari arah kanan dan keluar harus mengitari Sa’o Pile dari arah kanan ke kiri, dengan ketentuan, jika sudah keluar dari perkampungan, sesuai adat tidak  Range (jarak)-boleh kembali ke belakang (pada waktu yang bersamaan); rumah kepala suku menjadi tata pola perkampungan adat wajo, yakni tiap kepala suku (ada 6 suku) masing-masing dipisahkan oleh 2 rumah Masyarakat biasa, dengan vocal point berupa dinding bambu ukiran (motif kain adat wajo).
2.2  ARSITEKTUR SAO PILE
            Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting ijdalam pembentuk karakter orang Wajo. Untuk Rumah Pemali (Sa’o Pile) terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta”, dengan fungsi utama atau pokok, yaitu fungsi Sosial dan fungsi Religius. Disebut memiliki fungsi Sosial, karena Rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat berkumpulnya warga kampung ataupun suku (6 suku) dan tempat bermusyawarah. Sedangkan sebagai fungsi Religius, karena rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat dilakukannya upacara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik suku. Adanya Ruang Suci (Sakral) (Tubu nusu) dan benda-benda pusaka yang tidak boleh disentuh oleh masyarakat awam, membuktikan bahwa rumah pemali bukan saja sebagai tempat pemersatu semua suku, melainkan juga sebagai tempat tinggal Roh Leluhur (Retha).
            Disebut Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula. Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai bangunan. Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai (lambang seekor Ular, penjaga kampung “Ine mbupu”)(informan bpk. Hani Siwa (wawancara 21 November 2016)).
Secara hierarki Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).
Proses mendirikan Sa’o Pile ini memakan waktu kurang lebih 6 bulan dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa Rumah Pemali (Sa’o Pile) memiliki nilai dan makna yang berarti dan mahal, sehingga tidak sembarang dibangun, akan tetapi melalui ritual adat dengan ketentuan khusus pula.
2.2.1  TAHAP-TAHAP PEMBUATAN DAN BAGIAN-BAGIAN  SAO PILE
            Untuk mendirikan atau membangun Sa’o Pile harus  berdasarkan kesepakatan semua Suku (6 Suku) yang dilakukan  dalam ritual atau Upacara Adat, yakni :
·      Matu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
·      Setelah semua anggota suku dengan keturunannya sudah berkumpul, ritual adat yang harus dijalankan yaitu meminta petunjuk, arahan sekaligus izin dari leluhur, yaitu “Tika” artinya memberi makan (sesajen) kepada leluhur (Ndewa rekta nee ngae rade);
·      Untuk mengumpulkan elemen-elemen (bahan-bahan) bangunan juga harus melalui ritual adat yakni “Raba taka” artinya mengasah parang pada waktu memotong tiang dan lain-lain terlebih dahulu didarahi dengan darah kerbau;
·      “Woti geri” artinya mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan pada setiap elemen konstruksi.
 Dominikus Jawa mengatakan bahwa pada saat membangun Sa’o Pile, elemen-elemen konstruksi langsung ditempatkan pada posisinya secara bertahap (tidak dirangkaikan terlebih dahulu), yakni :
a.Mendirikan  tiang utama (Deke).
Tiang utama tersebut berjumlah 6, yakni didirikan sesuai lingkaran suku dari kanan ke kiri, melambangkan suku-suku yang ada ;
·      Emb lau;
·      Embumbani
·      Koto bhisu mena;
·      Koto bhisu Rade;
·      Jemu dhedhe wawo;
·      Jemu dhedhe wena.
Tiang utama (Deke) harus menggunakan kayu khusus yaitu “kaju embu” yang diambil dari kebun pribadi Masyarakat Wajo, yakni di Nio budha, Ae toe, natu dan Baomau. Tiang utama tersebut  penuh ukiran dengan system konstruksi ditanam dalam tanah yang beralaskan batu ceper (Watu) dan dibalut oleh tali Ijo (ijuk).
b. Tiang utama penopang “Tenga” (sloff bawah) yaitu balok berbentuk kuda “Kaju mali kuda”, diambil dari undemi (Kebun) dengan system konstruksi “Monge”.
c. Karena merupakan rumah panggung, Sa’o Pile terdiri dari beberapa tangga yang harus ditapaki (dilewati bertahap), yakni :
1.    Ngi kajo yaitu tangga pertama, berupa balok panjang
2.   Kana wari disebut sebagai jembatan ke rumah adat yang dibantu dengan seutas tali ijo (konon menggunakan ekor kerbau), terbuat dari Kaju Oja yang diambil di “lewa”. Kana wari ini dilengkapi dengan ornament berupa patung yang diyakini sebagai penjaga pintu masuk Rumah Pemali (“Ana Jeo”) yakni ;
·  Daki Weke (sebelah kiri);
·  Nenbo Neke (sebelah kanan)
Konon dua patung ini adalah Ana jeo, yaitu 2 orang anak yang menjaga seluruh kampung adat Wajo;
d. Kodi Panda
Yakni balok lantai pembatas pintu masuk (Wesa) dengan Kana wari. Bagi Masyarakat wajo, aturan atau pantangan memasuki rumah pemali adalah tidak boleh terantuk (tersandung) pada balok Kodi panda. Hal ini menandakan tidak diperkenankan untuk masuk ke Sa’o Pile (Pemali).
e. Wisu (kaju mbaa tolo)
Yakni kayu merah ½ dinding sebagai bagian konstruksi kolom-kolom pembentuk dinding yang diambil di Koi (Kebun).
f. Lantai “kembi”, terbuat dari belahan bambu dengan menggunakan konstruksi ikat silam dengan tali “Nao” (fii bheto) pada fii kodi ( balok lantai) atau Dado Kodi.
g. Rumah Sa’o Pile berbentuk limas, sehingga jenis atapnya menggunakan jurai dengan konstruksi diikat oleh tali ijo (tali ijuk), yakni :
·      Soku dok, yakni balok Jurai;
·      Mangu atau mbaa tolo yakni tiang nok, dari kayu merah;
·      Kada peda, yakni ½ kuda-kuda;
·      Soku papa, yakni gording dari bambu;
·      Pama lindi, yakni papan list plank penuh ukiran;
·      Alang-alang dan ijuk pada jurai, dikumpulkan dari masing-masing suku.      Konstruksi alang-alang ini diapit oleh bambu dengan ukuran 1 meter dan diikat pada reng bambu dengan jarak 0,5 meter.
h. Loteng atau Kodi Panda
Kodi panda yakni ruang pada lantai 2 yang difungsikan sebagai tempat memanggil atau mengumpulkan semua warga kampung untuk mempersiapkan peralatan perang jika ada peperangan. Biasanya cara mengumpulkan semua warga kampung Wajo diiringi dengan musik gong, gendang, suling dan juga syair-syair lagu.
2.3  UPACARA ADAT  DAN FILOSOFI  SAO PILE
            Tujuan mengadakan upacara atau ritual adat dalam membangun rumah pemali, diyakini oleh masyarakat adat Wajo sebagai wujud permintaan kepada leluhur untuk melindungi anak cucunya dari seluruh anggota suku agar sehat dan berhasil dalam membangun (Mbinge woso kupa) dan  mengembangkan keturunan agar generasi-generasi berkembanga pesat.
Ritual tersebut sebagai berikut;
·      Mutu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk (berdialog) untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
·      Tika, yakni member sasajen (makan) kepada leluhur (“ndewa rekta nee ngae rade”);
·      Raba taka, yakni upacara mengasah parang pada waktu memotong tiang dan bahan lainnya yang terlebih dahulu didarahi oleh darah kerbau;
·      Woti geri, yakni upacara mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan Wajo;
·      Lombo lindi, yakni memotong alang-alang agar rapih (finishing);
·      Pije puu, meletakkan tanah di sekitar tiang dan peo agar kuat yang didarahi dengan darah kerbau.
Dalam ritual adat hewan yang menjadi kurban pokok yaitu babi, digunakan untuk mendarahi kayu-kayu atau alang-alang selama masih di hutan atau di kebun, dan kerbau digunakan untuk mendarahi bahan-bahan bangunan disuatu tempat untuk siap dibangun (izin pada penunggu pohon). Selain itu tarian yang digunakan selama upacara adat yaitu tarian Pute wutu oleh ana susu. Menurut masyarakat Wajo rumah sa’o pile dibangun berdasarkan syair-syair lagu “Ndada ta”.
            Denah dan pola ruang dalam tatanan arsitektur tradisional  Wajo memiliki pola pikir yang bersifat sakral dan selalu dapat ditinjau secara hierarkis, yaitu horizontal dan vertikal. Rumah pemali Sa’o Pile tergolong tipologi rumah panggung, terdiri dari dua lantai yang mana bertitikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang suci yang dikeramatkan. Secara horizontal, pola ruang rumah pemali(Sao Pile) selalu dikaitkan dengan kehidupan profan, dengan tuntutan aktivitas seperti, makan bersama, memasak (Dika) dan bersosialisasi. Sedangkan secara vertikal selalu berhubungan dengan hal-hal kosmik dan sakral, karena pada ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (Upacara adat) yang bersifat sakral dan suci.
            Disisi lain, secara adat istiadat Wajo terdapat pemisahan ruang yang memiliki sejumlah larangan, misalnya pembagian ruang masak (Wanita tidak boleh melewati pembatas antara ruang Dika/dapur dalam rumah pemali) yang dipisahkan oleh sebatang bambu dengan ukuran yang berbeda. Secara Vertikal arsitektur Wajo ini ditandai dengan adanya ruang upacara adat (ruang suci) yang dipisahkan oleh sebatang balok melintang. Dalam sumbu vertikal ini sangat jelas membedakan fungsi suatu ruang dari atas ke bawah atau dari yang keramat (pemali) sampai yang biasa. Hal ini merupakan manifestasi dari dunia atas (dunia para dewa atau leluhur), dunia tengah (tempat manusia) dan dunia bawah (binatang dan roh jahat).
Tatanan pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) adat Wajo juga pada dasarnya memiliki konsep dan hierarki ruang yang identik sama dengan pola atau hirarki pada tata ruang dalam rumah pemali(Sao Pali). Inti dari ruang luar ini pada pola tapak “Pondo” adalah kehadiran bangunan megalitik, Pu’u Peo, Peo Aki dan juga pelataran terbuka dalam lingkup kosmik gagasan Masyarakat Wajo dari jaman leluhur terdahulu.
            Bapak Blasius Mbusa ornament dan Ragam Hias pada Arsitektur Tradisional (Vernakular) adat Wajo yang terdapat dalam Rumah pemali (Sa’o Pile) memiliki banyak makna, norma, serta larangan tertentu sesuai perletakan yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu pula dari bangunan tersebut. Dari segi bentuk ragam hias ini sangat bervariasi, yakni berupa garis lurus, garis lengkung (dengan komposisi tertentu), belah ketupat, flora (Kuntum bunga), fauna (binatang), manusia (sosok manusia, organ tertentu wanita, seperti payudara, dan patung, serta benda-benda langit (bulan, bintang, dan matahari). Ragam hias dengan komposisi garis-garis lengkung umumnya bersosok sesuatu benda yang menunjukkan keberadaan benda-benda pusaka atau benda berharga lainnya yang tersimpan di dalam rumah pemali (Sao Pile) (wawancara 1 Desember 2016).


PENUTUP

            Karakteristik Arsitektur Sao Pile di kampung Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat. PolaPerkampungan adat wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunandisekitarnya.
Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang di laut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.
            Sa’o Pile (Rumah Pemali) merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula. Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai bangunan. Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai’. Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).



DAFTAR INFORMAN
1.      Nama               : Blasius Mbusa
Umur               : 31
            Pendidikan      : S1
            Pekerjaan          :  Pegawai dinas PPO Kab. Ngada
2.      Nama               :  Petrus Ndapa
Umur               : 40
            Pendidikan      : S1
            Pekerjaan          : Guru
3.      Nama               : Dominikus Jawa
Umur               : 39
            Pendidikan      : S2
            Pekerjaan         : Dosen






LAMPIRAN


Patung Ana Jeo


Pemukiman Kampung Wajo


Sao Pile, rumah adat kampung wajo

Kamis, 29 Desember 2016

Makna Instrument Suntiang Pada Pakaian Adat Minangkabau

MAKNA INSTRUMENT SUNTIANG (SUNTING) PADA PAKAIAN ADAT MINANGKABAU
(SUMATRA BARAT)
TINJAUAN ETNOARKEOLOGI



ATIKA NOVIANA
1401405004
ARKEOLOGI 




ABSTRAK

Bab ini mengeksplorasi sejarah masing-masing dari kedua ETNOARKEOLOGI dan arkeolog dari masa lalu kontemporer. Di permukaan dua subdisiplin tampaknya memiliki banyak kesamaan, mereka berdua terlibat dalam studi tentang masyarakat masa kini dan masa lalu. Namun, metodologi yang masing-masing mempekerjakan dalam tujuan ini, sebagai akibat dari pilihan sejarah tertentu yang praktisi setiap subdisiplin dibuat, sangat berbeda. Praktisi arkeolog dari masa lalu kontemporer umumnya menggunakan metodologi arkeologi yang dikembangkan dari ETNOARKEOLOGI Amerika pada 1980-an, sementara ETNOARKEOLOGI pasca-prosesual di Inggris melakukan perbaikan besar-besaran dari ide-ide ini. Dikatakan bahwa arkeolog dari masa lalu kontemporer bisa memperoleh banyak dari pemahaman tentang perkembangan terbaru dalam ETNOARKEOLOGI berkenaan dengan metodologi dan etika representasi, karena mereka memiliki dari ETNOARKEOLOGI prosesual.

 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia pada masa lampau melalui benda tinggalannya.
Etnografi merupakan kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian yang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok masyarakat.
Etnoarkeologi adalah cabang ilmu atau disiplin imu arkeologi yang mempelajari dan menggunakan data etnografi untuk menangani atau membantu memecahkan masalah-masalah arkeologi dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang masa lalu. Dengan menggunakan teknik ethnoarchaeological, maka para arkeolog mencoba untuk menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Dalam studi etnoarkeologi, dikenal dua macam pendekatan yaitu :
1.   Pendekatan kesinambungan sejarah budaya (direct historical approach). Pendekatan ini berdasarkan pada budaya yang masih berjalan sekarang atau masih dapat kita lihat adalah merupakan perkembangan budaya pada masa lalu. Oleh karena itu, pendekatan ini akan berarti jika data etnoarkeologi dengan data arkeologi saling berkaitan sejarahnya. Oleh karena itu penelitian etnohistori sangat diperlukan.
2.   Pendekatan perbandingan umum (general comparative approach), pendekatan ini didasari oleh pandangan bahwa hubungan antara budaya materi dengan pendukungnya telah punah dengan budaya materi yang ada sekarang mempunyai persamaan bentuk masih dapat dilakukan meskipun tidak mempunyai kaitan sejarah ruang maupun waktu.

Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan suntiang (sunting)?
2.      Apa saja komponen yang terdapat pada suntiang (sunting)?
3.      Bagaimana cara mengaplikasikan suntiang (sunting)?
4.      Apa saja jenis dan ragam suntiang (sunting)?
5.      Apa makna dari suntiang (sunting)?
  
Tujuan Penelitian
1.      Dapat mengetahui pengertian dari suntiang (sunting)
2.      Mengetahui komponen apasaja yang terdapat pada suntiang (sunting)
3.      Mengetahui cara mengaplikasikan suntiang (sunting)
4.      Mengetahui jenis dan ragam dari suntiang (sunting)
5.      Mengetahui makna yang terkandung pada pemakaian suntiang (sunting)




PEMBAHASAN

Pada kajian etnoarkeologi ini saya membahas pada pendekatakan emik (benda yang bersifat faktual) yaitu tentang “Makna Instrument Suntiang (Sunting) pada pakaian adat Minangkabau Sumatera Barat”.
Sunting atau sering disebut dengan kata suntiang  merupakan kata yang berasal dari bahasa Minang Sumatera Barat. Sunting atau suntiang merupakan instrument yang menjadi dasar atau penting pada pakaian adat wanita minang terutama “anak daro” (pengantin wanita) dalam acara pernikahan atau disebut dengan kata baralek (resepsi pernikahan). Dalam adat Minangkabau, pernikahan merupakan salah satu masa peralihan yang sangat berarti karena merupakan permulaan masa seseorang melepaskan diri dari kelompok keluarganya untuk membentuk kelompok kecil milik mereka sendiri. Karena itu peristiwa pernikahan sangatlah penting bagi siklus kehidupan seseorang termasuk oleh orang Minangkabau.
Hari tersebut merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh kedua calon mempelai dan keluarga dari kedua belah pihak. Ditandai dengan prosesi upacara adat dan keagamaan yang sesuai dengan pepatah minang “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Seluruh rangkaian upacara pernikahan adat, perlengkapan, tata rias membutuhkan persiapan yang lama dan sangat terperinci.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, di Minangkabau pada umumnya “anak daro” (pengantin perempuan) menggunakan suntiang (sunting).
Suntiang (sunting) adalah hiasan kepala pengantin perempuan di Minangkabau Sumatera Barat. Hiasan yang besar warna keemasan atau keperakan yang khas itu, membuat pesta pernikahan (baralek) budaya Minangkabau berbeda dari budaya lain di Indonesia. Perempuan Minangkabau mesti bangga dengan budaya minangkabau, terutama soal pakaian pengantin. Secara turun temurun, busana pengantin Minangkabau sangat khas, terutama untuk perempuannya, yaitu selain baju adat-nya baju kurung panjang dan sarung balapak, tak ketinggalan suntiang.
Suntiang (sunting) memang biasanya langsung diasosiasikan dengan kata “berat”. Wajar  karena suntiang itu terbuat dari lempengan logam. Pada zaman modern ini orang-orang sudah mulai kreatif dengan menciptakan suntiang dari bahan plastik, kurang lebih seperti payet sehingga membuat pemakainya tidak menanggung beban yang berat lagi saat dikenakan dikepala.
Walaupun demikian, orang-orang kebanyakan terutama anak daro (pengantin wanita) dalam acara pernikahan atau baralek lebih suka memakai yang logam, walaupun itu memberikan beban yang jauh lebih berat di bandingkan yang terbuat dari plastik. Karena dalam segi warna maupun bentuk lebih bagus yang asli logam dari pada yang terbuat dari plastik. Warna yang terdapat pada suntiang yang terbuat dari plastik lebih ke warna kuning dan tidak keemasan, sehingga dapat mengurangi unsur estetika suntiang saat memakainya.
Suntiang adalah salah satu bentuk hiasan kepala anak daro. Suntiang yang dipakai secara umum sekarang biasa disebut suntiang gadang. Nama ini untuk membedakan dengan suntiang ketek (kecil) yang biasa dipakai oleh pendamping pengantin yang disebut pasumandan.
Keindahan Suntiang diawali dengan susunan kembang goyang yang digunakan oleh tiap pengantin wanita. Pada lapisan bawah Suntiang digunakan kembang goyang yang dinamakan Bungo Sarunai yang terdiri dari tiga hingga lima deretan. Lapisan kedua digunakan kembang goyang yang dinamakan Bungo Gadang yang juga terdiri dari tiga hingga lima deretan. Terletak paling atas adalah Kambang Goyang dengan hiasan-hiasan lainnya yang disebut Kote-kote. Di bagian belakang sanggul terdapat Tatak Kondai dan Pisang Saparak yang menutupi sanggul bagian belakang. Sedangkan di dahi pengantin wanita terdapat Laca, dan Ralia di bagian telinga.
Suntiang juga ada beberapa bentuk. Selain yang standar berbentuk setengah lingkaran yang umum dipakai, juga ada suntiang khas masing-masing daerah di Sumatera Barat. Di antaranya suntiang Sungayang (Tanah Datar) yang memiliki mahkota, suntiang kurai (Bukittinggi), suntiang Pariaman, dan Solok Selatan, dan Suntiang Solok yang dirangkai tanpa kawat.
Dahulu, berat sunting mencapai beberapa  kilogram sebab terbuat dari alumunium dan besi-besi, ada yang terbuat dari emas, dan harus ditancapkan satu persatu pada rambut mempelai wanita.  Memakai suntiang kerap kali juga salah satu yang ditakutkan calon pengantin perempuan Minang atau yang biasa disebut anak daro. Suntiang (sunting) yang beratnya bisa mencapai 3,5-5 kg (jadi hampir sama dengan berat topi baja militer) dan mesti dikenakan di kepala selama pesta berlangsung umumnya sehari-semalam, membuat si calon pengantin perempuan yang disebut ‘anak daro’ was-was dan cemas akan tidak sanggup menjalankannya. Bayangkan kalau dipakai selama satu dua jam. Bahkan bisa berkeringat dan bikin anak daro (pengantin perempuan) meringis. Namun semakin modernnya fashion, suntingpun ikut terkena imbasnya,  tapi tetap berkiblat pada budaya Minangkabau. Bahkan sekarang sunting tersedia yang tak berat dan nyaris seperti  menggunakan bando biasa saja, sehingga anak daro lebih santai dan bergerak leluasa tanpa keluhan sakit kepala.
Suntiang (sunting) sendiri dirangkai menggunakan kawat ukuran satu perempat yang dipasang pada kerangka seng aluminium seukuran kepala. Pada kawat itu dipasang sedikitnya lima jenis hiasan. Kelima hiasan itu dinamakan suntiang pilin (sunting pilin), suntiang gadang (sunting besar), mansi-mansi (kawat-kawat), bungo (bunga), dan jurai-jurai. Besarnya sebuah suntiang diukur dengan jumlah mansi atau kawat. Suntiang paling besar ukurannya 25 mansi, kemudian 23 mansi, dan 21 mansi yang paling umum dipakai saat ini. Suntiang yang dibuat juga dibagi tiga jenis berdasarkan bahan.
Yang lebih berat dan mahal yang masih dibuat saat ini terbuat dari mansi padang (sejenis seng aluminium kuningan). Kemudian mansi kantau atau biasa, dan yang sekarang mulai banyak dipakai, terutama untuk pelajar, suntiang dari plastik yang jauh lebih ringan. Tapi yang paling bagus sebaiknya nanti dibuat dari titanium, sayangnya masih mahal.
Suntiang (sunting) tidak terlepas dari seperangkat pakaian limpapeh Rumah nan Gadang di Minangkabau. Suntiang ini dipakai oleh anak gadis yang berpakaian adat maupun oleh pengantin wanita (anak daro). Mengenai jenis dan nama suntiang (sunting) ini terdiri dari berbagai ragam.

Secara garis besar jenis suntiang (sunting) ini terdiri dari 4 yaitu :
1.   Suntiang bungo pudiang (sunting berbunga puding)
2.   Suntiang pisang saparak (sunting pisang sekebun)
3.   Suntiang pisang saikek (sunting pisang sesisir)
4.   Suntiang kambang loyang (sunting kembang loyang)

Dari segi ikat (dandanan) dengan segala variasinya suntiang (sunting) ini dapat pula dibedakan menjadi suntiang ikek pesisir (sunting ikat Pesisir), suntiang ikek Kurai (sunting ikat Kurai), suntiang ikek Solok Selayo (sunting ikat Solok Selayo), suntiang ikek Banuhampu Sungai Puar (sunting ikat Banuhampu Sungai Puar), suntiang ikek Limo Puluah Koto (sunting ikat Lima Puluh Kota), suntiang ikek Sijunjuang Koto Tujuah (sunting ikat Sijunjung Kota Tujuh), suntiang ikek Batipuah Sapuluah Koto (sunting ikat Batipuh Sepuluh Kota), suntiang ikek Sungayang (sunting ikat Sungayang), dan suntiang ikek Lintau Buo (sunting ikat Lintau Buo).
Suntiang ikek bungo pudiang (sunting ikat bunga puding) banyak dipakai didaerah Batipuh Tanah Datar. Suntiang pisang separak (sunting pisang sekebun) banyak dipakai didaerah Luhak Lima Puluh Kota, Solok, Sijunjung Koto Tujuh, dan Sungai Pagu. Suntiang pisang sasikek (sunting pisang sesisir) banyak dipakai di daerah Pesisir. Suntiang kambang loyang (sunting kembang loyang) banyak dipakai di daerah lain.  



PENUTUP

Kesimpulan
Suntiang merupakan hiasan kepala yang menjadi ciri khas dari daerah Minangkabau pesisir yang selalu di pakai oleh pengantin wanita. Suntiang ini selalu menjadi daya tarik karena memang salah satu hiasan terindah yang tidak dimiliki oleh pengantin wanita di daerah-daerah lain. Jadi wajar kalau benda yang dipakai ini selalu menjadi pesona terindah bagi yang melihatnya.
Dengan bentuk yang unik dan penggunaan bahannya yang sangat indah menjadikan si pengantin wanita terlihat seperti puteri kerajaan yang memakai mahkota. Pada lapisan bawah menggunakan kembang goyang atau bungo sarunai yang biasanya terdiri dari tiga atau lima deretan. Untuk lapisan keduanya di sebut dengan bungo gadang. Dan bagian atas di sebut kote-kote. Suntiang pisang saparak dari Solok Selatan ini menggunakan bahan yang berbeda pula salah satunya seng alumunium kuningan.
Namun, dibalik beratnya suntiang, bisa dibilang itu melambangkan beratnya beban dan tanggung jawab yang akan dipikul si anak daro (pengantin wanita) dalam perjalanan hidupnya sebagai istri dan ibu kelak.



 LAMPIRAN :












SUMBER

Wawancara narasumber pembuat suntiang gadang
Wawancara pemilik atau penyewa suntiang anak daro
Buku Budaya Alam Minangkabau (BAM)