PERSPEKTIF MASYARAKAT MENGENAI
PENGGUNAAN UANG KEPENG SEBAGAI SARANA UPACARA ADAT DI DESA PEJENG KAJA, GIANYAR
(SUATU
KAJIAN ETNOARKEOLOGI)
OLEH
LINDA
NURJAGAD
(1401405019)
PROGRAM
STUDI ARKEOLOGI
FAKULTAS
ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA
PENGANTAR
Etnoarkeologi
merupakan salah satu cabang ilmu arkeologi yang mempelajari budaya dan
teknologi primitif kontemporer sebagai suatu cara untuk memberikan analogi dan
pola untuk menggambarkan budaya masa lampau. Dalam etnoarkeologi dilakukan
studi ilmiah tentang kelompok masyarakat yang ditujukan untuk memahami hubungan
perilaku yang mendorong terciptanya budaya material.
Studi
Etnoarkeologi menekankan pada hubungan tindakan manusia dan budaya bendawi di
masa kini untuk menyediakan prinsip-prinsip yang di butuhkan dalam kajian
tentang masa lalu. Dalam permasalahan “Perspektif
Masyarakat Mengenai Penggunaan Uang Kepeng Cina Sebagai Sarana Upacara Adat di
Desa Pejeng Kaja, Gianyar” ini akan dianalisis menggunakan studi dan
penelitian etnoarkeologi.
Dalam
mendapatkan data-data etnoarkeologi tersebut, dilakukan penelitian langsung
menggunakan wawancara mendalam (deep
interview) serta melihat langsung objek yang digunakan dalam penelitian.
Desa Pejeng merupakan salah satu objek yang ada di Provinsi bali yang baik
untuk digunakan sebagai objek kajian budaya etnografis. Desa ini merupakan salah satu wilayah dimana
terdapat banyak tinggalan arkeologis dan kebudayaan masyarakat tradisional,
sehingga kajian etnoarkeologi pada wilayah ini sangat baik untuk dijadikan
objek penelitian.
FILOSOFI
DAN AWAL MULA UANG KEPENG DIFUNGSIKAN DI PULAU DEWATA
Di
Pulau Dewata Bali khususnya di Desa Pejeng Kaja, masyarakatnya menyebut uang
kepeng Cina dengan sebutan Pis Bolong.
Pis Bolong berarti nama untuk mata uang logam Cina yang masuk dan dikenal
di Bali sebagai alat pembayaran, yang merupakan akibat dari transaksi
perdagangan masyarakat Bali dengan pedagang-pedadang dari Cina.
Uang
kepeng atau pis bolong merupakan uang
logam yang digunakan sebagai alat tukar pada masa pemerintahan kerajaan
Majapahit. Namun sekarang uang kepeng tersebut tidak lagi menjadi alat tukar.
Saat ini, fungsi uang kepeng telah berubah menjadi sarana ritual keagamaan atau
upacara-upacara adat dalam agama Hindu.
Uang
kepeng terbuat dari lima unsur bahan yaitu emas, perak, perunggu, timah, dan
besi. Ke-lima unsur tersebut di dalam agama Hindu disebut dengan Panca Dhatu dan secara spiritual
merupakan simbol dari Panca Dewata.
Dari hal tersebut, maka uang kepeng di kalangan masyarakat Bali memiliki nilai
sakral atau religius. Hampir di semua ritual keagamaan Hindu selalu menggunakan
uang kepeng dan jumlah uang kepeng yang digunakan tergantung dari nyasa yang hendak diwujudkan
dalam upacara tersebut. Sarana ritual paling kecil seperti kwangen juga seharusnya menggunakan uang kepeng walaupun saat ini
sering diganti dengan uang logam biasa, bahkan ada yang menggantinya dengan
uang kertas yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan konsep nyasa.
Panca Dhatu pada uang kepeng baik uang kepeng tradisional asli dari Cina maupun uang kepeng tiruan menurut masyarakat dan kelian adat desa Pejeng tidak telalu mempengaruhi karena pada uang kepeng tiruan tersebut yang terpenting mengandung beberapa unsur dari Panca Dhatu tersebut walaupun tidak sempurna ke lima unsur logam pada simbolisasi Panca Dhatu. Pada simbolisasi Panca Dhatu tersebut mewakili kekuatan 5 Dewata yaitu antara lain :
1. Besi : mewakili kekuatan Dewa Wisnu (Utara)
2. Emas : mewakili kekuatan Mahadewa (Barat)
3. Kuningan : mewakili kekuatan Dewa Siwa (Pusat)
4. Perak : mewakili kekuatan Iswara (Timur)
5. Tembaga : mewakili kekuatan Dewa Brahma (Selatan)
Walaupun tidak seimbang dan tidak memenuhi 5 kekuatan Dewata, uang kepeng tiruan tetap digunakan pada ritual-ritual keagamaan karena semakin lagkanya uang kepeng Cina asli tersebut. Menurut masyarakat adat desa Pejeng, ketersediaan uang kepeng Cina (kepeng asli) yang sudah semakin berkurang, kesulitan tersebut mendatangkan cara baru dari para seniman dalam menanggulangi kelangkaan uang kepeng asli. Banyaknya uang kepeng baru atau buatan yang baru (tiruan) yang dianggap bisa menutupi kebutuhan terhadap uang kepeng tersebut. Akan tetapi, banyak masyarakat Hindu yang kemudian merasa kurang sempurna aktivitas upacaranya ketika menggunakan kepeng buatan baru (tiruan), karena kualitas uang baru tampaknya dibuat dengan perhitungan yang sangat ekonomis, tidak tahan lama, namun produksi dapat tetap berjalan.
Panca Dhatu pada uang kepeng baik uang kepeng tradisional asli dari Cina maupun uang kepeng tiruan menurut masyarakat dan kelian adat desa Pejeng tidak telalu mempengaruhi karena pada uang kepeng tiruan tersebut yang terpenting mengandung beberapa unsur dari Panca Dhatu tersebut walaupun tidak sempurna ke lima unsur logam pada simbolisasi Panca Dhatu. Pada simbolisasi Panca Dhatu tersebut mewakili kekuatan 5 Dewata yaitu antara lain :
1. Besi : mewakili kekuatan Dewa Wisnu (Utara)
2. Emas : mewakili kekuatan Mahadewa (Barat)
3. Kuningan : mewakili kekuatan Dewa Siwa (Pusat)
4. Perak : mewakili kekuatan Iswara (Timur)
5. Tembaga : mewakili kekuatan Dewa Brahma (Selatan)
Walaupun tidak seimbang dan tidak memenuhi 5 kekuatan Dewata, uang kepeng tiruan tetap digunakan pada ritual-ritual keagamaan karena semakin lagkanya uang kepeng Cina asli tersebut. Menurut masyarakat adat desa Pejeng, ketersediaan uang kepeng Cina (kepeng asli) yang sudah semakin berkurang, kesulitan tersebut mendatangkan cara baru dari para seniman dalam menanggulangi kelangkaan uang kepeng asli. Banyaknya uang kepeng baru atau buatan yang baru (tiruan) yang dianggap bisa menutupi kebutuhan terhadap uang kepeng tersebut. Akan tetapi, banyak masyarakat Hindu yang kemudian merasa kurang sempurna aktivitas upacaranya ketika menggunakan kepeng buatan baru (tiruan), karena kualitas uang baru tampaknya dibuat dengan perhitungan yang sangat ekonomis, tidak tahan lama, namun produksi dapat tetap berjalan.
Uang
kepeng sebagai salah satu sarana upacara, memiliki peran penting dalam upacara
tersebut. Uang kepeng memiliki kedudukan
yang penting sehingga dapat mempengaruhi pelaksanaan upacara. Masyarakat mempercayai
bahwa jika salah satu sarana upacara termasuk uang kepeng tersebut tidak ada,
maka upacara tersebut diyakini tidak
sempurna. Biasanya pada upacara ngaben, jika salah satu sarana tidak ada atau
tidak lengkap, beberapa masyarakat akan memilih menunda sementar pelaksanaan
upacara hingga sarana upacara terpenuhi.
Penggunaan
uang kepeng di Bali sejak dahulu hingga sekarang masih tetap terjaga walaupun telah mengalami
pergeseran fungsi. Fungsi uang kepeng pada awal masuk di pulau dewata
semata-mata hanya sebagai uang kartal atau alat pembayaran yang mempermudah transaksi perdagangan. Dalam
perkembangannya, uang kepeng memiliki banyak fungsi seperti fungsi religi dan kesenian. Dalam fungsi
religinya, uang kepeng dipergunakan sebagai pelengkap upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya,
Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya.
Dewasa
ini, di Bali khususnya di desa Pejeng pada pasar-pasar tradisional banyak
beredar uang kepeng tiruan yang dicetak oleh sebagian masyarakat secara
informal. Pencetakan ini dimaksudkan untuk mengatasi kelangkaan uang tersebut.
Kelangkaan uang kepeng asli disebabkan oleh seringnya umat Hindu melaksanakan
upacara yang banyak menggunakan uang kepeng sebagai perlengkapan upacaranya,
terlebih pemakaian diluar fungsi upacara.
Masuknya
uang kepeng di Bali tidak dapat dipisahkan dengan hubungan dagang antara Cina dan India. Sejak awal abad
masehi, di Asia telah terjadi kontak
dagang yang sangat ramai antara India dan Cina. Kontak dagang ini dilakukan
melalui jalur laut karena lebih strategis dan waktu yang dibutuhkan lebih
singkat. Ramainya jalur laut ini membawa
implikasi pada daerah-daerah yang dilewati jalur perdagangan tersebut. Salah
satu daerah yang ramai di kunjungi oleh pedagang-pedagang India dan Cina
tersebut yaitu Pulau Bali.
Dahulu,
Cina berdagang ke Indonesia khususnya di pulau Bali bertujuan untuk membeli hasil bumi di Bali. Transaksi
jual-beli tersebut menggunakan uang kepeng yang di bawa oleh orang-orang Cina.
Setelah uang kepeng Cina tersebut mulai tersebar di wilayah Bali, Cina kembali
membawa barang-barang berupa kain dan
barang-barang pecah belah, akan tetapi beberapa masyarakat Bali menolak
bertransaksi menggunakan uang sehingga timbullah barter. Pada akhirnya, karena
uang kepeng tersebut tidak digunakan karena adanya barter maka uang kepeng
tersebut menumpuk di pulau Bali dalam jumlah besar dan akhirnya untuk
memanfaatkan banyaknya uang kepeng
tersebut dibuatkanlah rambut sedana, salang, dan pratima. Selain itu, uang
kepeng Cina tersebut juga digunakan sebagai simbol beryadnya kepada para dewa
dan leluhur, dengan kata lain uang kepeng tersebut secara tidak sengaja
menjadi bagian dari pelengkap alat
upakara di Bali pada umumnya dan di desa Pejeng Kaja khususnya.
Dari
segi historis, semua uang yang pernah berlaku di Indonesia kecuali uang kepeng,
nilai satuannya dapat diketahui melalui tanda-tanda, huruf, kalimat, dan angka
yang tertera pada permukaan uang. Akan tetapi, nilai satuan uang kepeng yang
disebut aketeng atau keteng sama sekali tidak tertulis pada
permukaan uang. Semua jenis uang kepeng bernilai 1 (satu) keteng dan tidak ada uang kepeng 1 biji bernilai 10 keteng, 100 keteng, atau lebih. Dalam hitungan harga dengan menggunakan uang
kepeng, masyarakat Bali hanya mengenal aketeng.
UANG
KEPENG UNTUK BER-YADNYA DAN UPAKARA
Menurut
masyarakat adat sekitar desa Pejeng kaja, berita-berita atau informasi mengenai penggunaan uang
kepeng sebagai sarana upacara hanya
bersifat asumsi berdasarkan analogi yang bersumber dari cerita yang berkembang
dari mulut ke mulut yang diceritakan secara lisan dan turun-temurun.
Berdasarkan
cerita rakyat bahwa penggunaan uang kepeng dalam upacara-upacara adat di Bali
dimulai sejak pemerintahan raja Jayapangus. Pada masa pemerintahannya, etnis
Cina telah berdomisili dan melaksanakan aktivitas perdagangan di Bali. Pada
saat itu orang-orang Cina di bawah pimpinan Ngurah Subandar bersama putrinya yang bernama Kang Chi Wie
datang menghadap Sri Maha Raja untuk memohon agar orang-orang Cina diijinkan melakukan perdagangan ke wilayah
Kintamani, dan permohonannya dikabulkan. Setelah itu, timbul niat Ngurah
Subandar untuk menyerahkan Kang Chi Wei
pada sang Raja, dan permintaannya itu diterima pula. Akan tetapi putri Ngurah
Subandar tersebut meminta permohonan pada Sri Maharaja agar uang kepeng juga
harus digunakan dalam upacara-upacara keagamaan di Bali.
Peredaran
uang kepeng sebagai alat tukar mulai menurun sejak Belanda menguasai Bali
antara tahun 1846 hingga 1908. Setelah jaman kemerdekaan, uang kepeng tetap
terjaga fungsinya sebagai sarana upacara hingga sekarang.
Di
Desa Pejeng sendiri, uang kepeng masih difungsikan sebagai alat upakara dan/atau
untuk beryadnya serta tetap beredar baik uang kepeng asli maupun tiruan. Adanya
uang kepeng tiruan disebabkan oleh seringnya penggunaan uang kepeng Cina asli
dalam upacara-upacara di Pura maupun sebagai sari dalam beryadnya. Sehingga
saat ini terdapat beberapa pasar tradisional yang menjual uang kepeng tiruan
dan melahirkan pengerajin-pengerajin alat upakara dan pratima. Biasanya Pura
yang digunakan untuk upacara-upacara adat yang menggunakan uang kepeng sebagai
sarana upacaranya yaitu di Pura Puseh Tarukan yang ada di Desa Pejeng Kaja.
Nilai
uang kepeng tiruan jauh lebih murah daripada uang kepeng Cina tradisional.
Transaksi jual-beli uang kepeng di Bali khususnya di desa Pejeng Kaja terjadi
setiap tahun pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September dimana
bulan-bulan tersebut adalah bulan baik umat Hindu melangsungkan upacara
keagamaan terutama Manusia Yadnya dan
Pitra Yadnya.
Dalam
jumlah seratus biji uang kepeng dikaitkan sebagai benda yang dibutuhkan sebagai
pelengkap upacara misalnya, penebaran uang kepeng pada upacara Sekarura dalam upacara ngaben,
menenggelamkan uang kepeng kedalam laut dalam prosesi upacara mepakelem. Dalam pelaksanaan upacara
ngaben di bali sistem penguburan dan pembakaran memerlukan berbagai material
antara lain tirta (air suci), api,
bunga, benang, beras, uang kepeng, diantara sarana tersebut uang kepeng banyak
digunakan dalam upacara kematian terutama upacara ngaben.
Artana
(2016), menyebutkan bahwa dalam Lontar Kusuma Dewa penggunaan uang kepeng sebagai pedagingan dalam pembangunan suatu
pura antara lain di bagian utama pura dengan uang kepeng sesari 700 keteng, di bagian tengah pura (madya)
dengan sesari uang kepeng sesari 225 keteng,
dan di bagian kecil (nista)
menggunakan sesari uang kepeng 125 keteng.
Penggunaan
uang kepeng baik sebagai pedagingan maupun sarana upacara di pakai sebagai
salah satu alat penyucian dan menstanakan para Dewa. Uang kepeng juga digunakan
sebagai sesari, sarana persembahyangan, dan sebagai dekorasi. Dalam
melaksanakan suatu upacara dari semua jenis banten sebelum dipersembahkan
dilengkapi dengan uang kepeng sebagai sesari yang diletakkan di semua jenis
banten tersebut.
Dalam
upacara pemelaspasan banyak
menggunakan sarana upacara diantaranya, uang kepeng. Ardana (2016), bahwa dalam
upacara pemelaspasan memiliki arti
penting sebagai salah satu sarana penyucian melalui upacara ini yang
dipergunakan untuk pelinggih secara rohani yang di pandang telah suci. Selain
itu uang kepeng dalam upacara Dewa Yadnya
digunakan sebagai sarana dekorasi, yang dibuat dengan cara menkait-kaitkan
uang kepeng yang satu dengan yang lainnya, dan diikat dengan benang, serta di
beri manik-manik, kain perca warna-warni dan di poles dengan prada (warna emas). Dekorasi ini berupa
alat perhiasan yang dipasang di setiap pelinggih pada pura yang melaksanakan
upacara.
Dalam
upacara Pitra Yadnya, yaitu upacara
yang ditujukan untuk menghormati orang yang telah meninggal cukup banyak
menggunakan uang kepeng bahkan hampir semua prosesinya menggunakan uang kepeng.
Uang kepeng dalam upacara Pitra Yadnya
memiliki berbagai fungsi diantaranya, sebagai pengurip-urip, sesari, pemopog, dan wukur. Uang kepeng sebagai pengurip-urip
digunakan untuk menghidupkan alat-alat yang digunakan dalam upacara ngaben
seperti jenazah, sedangkan dalam sesari uang
kepeng berfungsi sebagai inti dari suatu persembahan, pemopog digunakan sebagai pelengkap kekurangan upacara, dan pada wukur uang kepeng digunakan sebagai
simbol jasad mendiang yang akan diberikan upacara.
Dalam
upacara Rsi Yadnya yaitu upacara
korban suci yang ditujukan pada para Pendeta dilaksanakan ketika penobatan
calon sulinggih menjadi Pendeta. Rsi
Yadnya dapat dilakukan dengan jalan memperlihatkan kehidupan para Pendeta
dengan menghaturkan punia dan bertanggung jawab atas pelebon dan penobatan sang
Pendeta. Pelaksanaan punia dapat dilakukan dalam bentuk materi yakni dalam
bentuk sesari. Dalam Rsi Yadnya, uang kepeng digunakan
sebagai imbalan jasa dan bukan digunakan sebagai upah, karena upah diukur
berdasarkan lama tidaknya bekerja, sedangkan sesari didasari dengan perasaan
tulus ikhlas.
Dalam
upacara Manusia Yadnya, yakni korban
suci untuk membersihkan manusia secara lahir batin. Upacara ini dilaksanakan
sejak bayi berada dalam kandungan hingga
akhir hidupnya. Dalam upacara ini, banyak dibutuhkan sarana upacara diantaranya
uang kepeng. Uang kepeng dalam upacara ini digunakan sebagai sarana
persembahyangan yang diletakkan dalam kwangen.
Pada suatu kwangen tersebut harus
diisi benda yang berbentuk bulat, maka diselipkanlah uang kepeng pada kwangen
tersebut. Hal tersebut juga sebagai simbol dari Ardacadra (simbol dari bentuk bulan yang melambangkan Ongkara atau Sang Hyang Widhi). Dalam persembahan
kwangen yang berisi uang kepeng
digunakan untuk memohon keselamatan dari
Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam
upacara Butha Yadnya, korban suci
yang dipersembahkan kepada alam semesta beserta isinya dan makhluk-makhluk yang
lebih rendah dari manusia. Upacara ini dimaksudkan untuk memberikan penyucian
kepada alam semesta beserta isinya dan para Butha dan makhluk yang lebih rendah
dari manusia. Persembahan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menghilangkan
sifat buruk yang ada, sehingga sifat baik dan kekuatannya dapat bermanfaat bagi
kesejahteraan umat manusia dan alam. Melalui upacara pecaruan, juga banyak diperlukan sarana upacara, salah satu
diantaranya uang kepeng. Uang kepeng dalam upacara mecaru digunakan sebagai tempat berstananya Tuhan beserta segala
manifestasiNya.
JENIS-JENIS
UANG KEPENG YANG DIGUNAKAN UNTUK UPACARA ADAT
Secara
umum, jenis uang kepeng yang digunakan dalam upacara-upacara adat di Bali khususnya di Desa Pejeng Kaja yaitu
segala jenis uang logam baik uang kepeng Cina tradisional, uang kepeng Bali,
uang kepeng kerajaan Majapahit, uang kepeng tiruan dari perunggu, maupun uang
logam modern.
Uang
kepeng Cina yang digunakan pada upacara keagamaan yaitu berasal dari semua
dinasti yang meninggalkan uang kepengnya di Bali. Ciri dan bahan uang kepeng
dari kedinastian Cina yaitu sebagai berikut :
Dinasti
|
Jenis
Logam (Campuran)
|
Han
|
Tembaga,
timah (perunggu)
|
Tang
|
Emas,
perak, besi, tembaga, timah
|
Song
|
Tembaga,
besi
|
Yuan
|
Tembaga,
timah (perunggu)
|
Ming
|
Tembaga,
timah (perunggu)
|
Qing
|
Tembaga,
seng (kuningan)
|
Beberapa
gambar jenis uang kepeng yang digunakan untuk sarana upacara yaitu sebagai
berikut:
Uang
kepeng Cina tradisional yang sering digunakan pada upacara keagamaan masyarakat
desa Pejeng kaja di Pura Puseh Tarukan
yaitu uang kepeng dari dinasti Qing dan dinasti Tang.
Uang
Kepeng dinasti Tang
Selain
itu juga terdapat uang kepeng tiruan yang terbuat dari timah atau perunggu
serta kuningan yang mana saat ini banyak beredar dan digunakan sebagai pelengkap
upakara karena kelangkaan uang kepeng Cina tradisional.
Di
Bali, terdapat beraneka ragam uang kepeng yang jenisnya dapat diklasifikasikan
menjadi 6 yaitu :
1. Uang
Kepeng Lumrah
Uang
kepeng Lumrah yaitu uang kepeng yang digunakan
dalam setiap upacara keagamaan. Uang kepeng ini bergaris tengah sekitar 3 cm dan berwarna
hitam karena bahannya terbuat dari perunggu yang kadar tembaganya tampak lebih
besar. Uang kepeng ini dianggap
mempunyai nilai religius dan lazim digunakan untuk membuat patung dewa seperti
patung dewa rambut sedana.
2. Uang
Kepeng Koci
Uang
kepeng Koci yaitu uang kepeng yang bentuknya lebih kecil daripada uang kepeng
biasa, dengan garis tengah sekitar 2 cm dan berwarna hitam. Uang ini bahannya
sama dengan uang kepeng Lumrah yaitu dibuat dari perunggu yang campuran
tembaganya tampak lebih besar.
3. Uang
Kepeng Kerinyah
Uang
kepeng Kerinyah yaitu uang kepeng yang bentuk dan besarnya sama dengan uang
kepeng biasa, akan tetapi warnanya lebih kuning karena bahannya yang terdapat
dari kuningan lebih dominan. Uang kepeng ini tidak memiliki keistimewaan
tertentu.
4. Uang
Kepeng Lembang
Uang
kepeng Lembang yaitu uang kepeng yang bentuknya lebih besar dari uang kepeng
biasa, bergaris tengah sekitar 3 cm, berwarna kuning seperti uang kepeng
Kerinyah. Uang kepeng ini sering digunakan sebagai alat judi yang disebut
dengan makeles.
5. Uang
Kepeng Jah
Uang
Kepeng Jahi yaitu uang kepeng yang bentuk dan besarnya sama dengan uang kepeng
Koci. Uang kepeng ini juga sering digunakan sebagai alat judi yang disebut mapincer.
6. Uang
Kepeng Jimat
Uang
kepeng Jimat yaitu uang kepeng yang tidak digunakan sebagai alat pembyaran
karena dianggap memiliki nilai magis dalam kepercayaan mistik Bali. Uang kepeng
ini memiliki beberapa jenis yaitu pipis Arjuna, pipis Bima, pipis Jaran, dan
pipis Gajah.
Munculnya
uang kepeng Bali disebabkan tidak adanya batasan atau ukuran yang digunakan
dalam beryadnya dalam setiap upacara. Uang kepeng juga memiliki hubungan dengan
banten (alat upakara) karena uang kepeng sudah identik dan melekat di kalangan
masyarakat Bali. Oleh sebab itu, kemudian Komunitas Parisada Hindu Dharma Bali
dibuatkanlah uang kepeng khusus Bali.
Kesimpulan
Berdasarkan
beberapa pembahasan yang telah penulis paparkan, dapat diambil beberapa
kesimpulan, diantaranya;
a. Berbicara
megenai filosofi penggunaan uang kepeng yang ada di Bali khususnya di Desa
Pejeng Kaja, adapun awal mula penggunaan uang kepeng di Desa Pejeng Kaja karena
julah uang kepeng yang banyak dan tidak terpakai sehingga penggunaan uang
kepeng dalam masyarakat Desa Pejeng Kaja sejak dahulu hingga sekarang masih tetap terjaga walaupun telah mengalami
pergeseran fungsi. Fungsi uang kepeng pada awal masuk di pulau dewata
semata-mata hanya sebagai uang kartal atau alat pembayaran yang mempermudah transaksi perdagangan. Dalam
perkembangannya, uang kepeng memiliki banyak fungsi seperti fungsi religi dan kesenian.
b. Uang
kepeng dalam kegiatan upacara adat di Bali pada umumnya dan Desa Pejeng Kaja
pada khususnya, masyrakat menggunakan uang kepeng dalam ritual upacara
keagamaan sebagai pedagingan maupun sarana upacara di pakai sebagai salah satu
alat penyucian dan menstanakan para Dewa. Uang kepeng juga digunakan sebagai
sesari, sarana persembahyangan, dan sebagai dekorasi. Dalam melaksanakan suatu
upacara dari semua jenis banten sebelum dipersembahkan dilengkapi dengan uang
kepeng sebagai sesari yang diletakkan di semua jenis banten tersebut.
c. Selain
itu terdapat beberapa jenis uang kepeng yang pemakaiannya tidak dikhususkan
harus menggunakan uang kepeng asli, sebab uang kepeng tiruan yang terbuat dari
timah atau perunggu serta kuningan yang mana saat ini banyak beredar dan
digunakan sebagai pelengkap upakara karena kelangkaan uang kepeng Cina
tradisional. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya ketersediaan uang kepeng kuno
yang terbuat dari perunggu, hal ini lah yang mengakibatkan munculya uang kepeng
tiruan yang berbahan dasar kuningan.
Berdasarkan
beberapa kesimpulan yang telah penulis paparkan dari beberapa permasalahan,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan uang kepeng yang terdapat di
Desa Pejeng Kaja jika diamati dari segi penggunaannya dalam berbagai ritual
keagamaan di Desa tersebut masih terus berkesinambungan hingga saat ini. Hal
tersebut dapat dibuktikan melalui pemakaian atau penggunaan uang kepeng dalam
ritual keagamaan yang berlangsung sejak pertama kali uang kepeng berkembang di
Bali bahkan masih tetap difungsikan sebagai pelengkap sarana upakara dalam
ritual keagamaan hingga saat ini.
Narasumber
:
1. Ketut
Artana, 45 thn (Kelian adat link. Pejeng Kaja),
2. Gede
Nyoman Ardana, 52 thn (Mangku), dan
3. Ibu-ibu
pengerajin pratima dan upakara.
artikelnya bagus, namun ada yang mau saya tanyakan, ada gak ya upacara yang tidak boleh menggunakan uang kepeng tiruan?
BalasHapusTrimakasih wira... sepengetahuan saya tidak ada upacara yang tidak boleh mengharuskan penggunaan uang kepeng asli, karena dalam masyarakat fungsi dari uang kepeng tsb adalah sebagai bentuk yadnya (korban suci tulus ikhlas). sehingga tidak ada peng-khususan dalam upacara tertentu :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusArtikelnya menarik lin. Tapi saya ada pertanyaan,, ketika uang kepeng tidak ada kan lebih baik upacara ditunda,, nah ketika suatu uapacara dilakukan tanpa adanya uang kepeng apakah ada dampak terhadap masyarakat secara langsung?
BalasHapusterimakasih tiara, sebenarnya ketika tidak ada uang kepeng upacara tersebut tidak mesti harus di tunda karena dapat digantikan dengan uang modern jika keadaannya tidak memungkinkan untuk di tunda.
Hapushalo linda.. tulisan kamu sudah sanga bagus dan menarik infonya.. keep it up!!
BalasHapusterimakasih
terimakasih norma... tulisan kamu juga bermanfaat...semangat juga :)
HapusTulisannya sangat menarik ya Linda. Saya mau tanya dong, terkait dengan uang kepeng asli yang digunakan pada upacara di Desa Pejeng apakah nanti setelah upacara uang tersebut dikumpulkan kembali untuk digunakan upacara atau dibiarkan saja? Dan apakah uang kepeng asli yang ada di Desa Pejeng merupakan warisan (pusaka) yang diberikan dari satu keturunan kepada keturunan selanjutnya? Terima kasih.
BalasHapusTerimakasih Jofel, Iya, sepengetahuan saya segala sesuatu seperti uang kepeng tradisional, yang diberikan secara turun temurun oleh pendahulu kita merupakan benda warisan dari para leluhur. lalu uang kepeng yang telah digunakan untuk upacara tersebut beberapa dari uang kepeng tersebut ada yang dibuang ada juga yang diambil kembali , tergantung bentuk yadnya dari uang kepeng tersebut, misalnya seperti Salang.
Hapus