Catatan Etnografi
Oleh:
Zahratunnisa
Deban (1401405025)
Program
Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas
Udayana
2017
BARONG BRUTUK
Barong
diperkirakan berasal dari kata “bahrwang” yang sering kali diartikan sebagai
binatang beruang, seekor binatang mitologi yang mempunyai kekuatan gaib dan
dianggap sebagai pelindung. Secara umum adapun jenis-jenis barong di bali
meliputi: Barong Ket (Ketket), Barong Bangkal, Barong Asu, Barong Gajah, Barong
Macan, Barong Landung, Barong Blasblasan. Selain jenis barong tersebut, ada
jenis barong lain yang tergolong unik, klasik dan sangat disakralkan oleh
masyarakat setempat, barong tersebut diberi nama Barong Brutuk. Barong ini
terdapat di Desa Trunyan, Kintamani, Kabupaten Bangli.
Desa Trunyan
merupakan sebuah desa kuna dan kecil yang letaknya terpencil di tepi Danau
Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, di kaki Bukit Abang. Desa ini merupakan
sebuah desa Bali Aga dan Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan
menarik. Bali Aga berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti
Bali asli. Di desa ini terdapat pohon yang sangat harum, berfungsi sebagai penyerap
bau busuk dari mayat-mayat yang dikuburkan dengan sistem penguburan unik di
tempat penguburan pada desa tersebut. Nama pohon itu adalah Taru Menyan yang
diyakini sebagai asal mula nama desa Trunyan. Pada Purnama Sasih Kapat, masyarakat
desa Trunyan merayakan upacara adat dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk
dan tari Sang Hyang Dedari.
Pagelaran Tarian
Barong Brutuk dilaksanakan saat dimulainya Hari Raya Odalan di Pura Ratu
Pancering Jagat, berlangsung selama 3 hari. Barong Brutuk berjumlah 21 orang, sesuai
dengan jumlah topeng yang ada di tempat penyimpanan, kabarnya topeng ini bisa
berubah-ubah jumlahnya tiap kali dibuka tempat penyimpanannya, namun hanya
orang-orang tertentu yang dapat melihat dan mengetahui hal tersebut. Topeng
barong Brutuk terbuat dari batok kelapa dengan bentuk wajah bulat sederhana berwarna
hitam dengan lukisan mata berwarna putih atau coklat. Barong Brutuk merupakan penggambaran
unen-unen (anak buah) Ratu Pancering Jagat. Barong Brutuk
ditarikan oleh para penari pria lajang/bajang yang diambil dari anggota sekaa
truna (karang taruna) yang ada di desa Trunyan, tanpa adanya musik pengiring. Para
pria lajang/bajang dipilih sebagai penari Barong Brutuk karena dianggap masih
suci/murni oleh masyarakat sehingga dipercaya sebagai penari dari tarian sakral
Barong Brutuk tersebut.
Sebelum
menarikan barong-barong sakral itu, para taruna harus melewati proses
sakralisasi (proses penyucian diri) selama 42 hari. Selama masa penyucian itu, mereka tinggal di sekitar Bhatara
Datonta (arca megalitik, dipercaya sebagai perwujudan dari Ratu Pancering Jagat). Setiap hari
bertugas membersihkan halaman pura dan mempelajari nyanyian kuna yang disebut
Kidung. Selama proses sakralisasi, para taruna itu dilarang berhubungan dengan
para wanita di kampungnya, dilarang berjudi (metajen, meceki, medom, mespirit,
dll.) serta dilarang minum-minuman keras dan mengonsumsi obat-obatan terlarang
dan sejenisnya. Kegiatan lain yang dilakukan semasa menjalani proses penyucian,
ialah mengumpulkan daun-daun pisang dari desa Pinggan (hanya daun pisang
pilihan, diantaranya: daun pisang
dangsaba, daun pisang ketip, dan daun pisang temaga). Daun-daun pisang itu dikeringkan dan kemudian dirajut
dengan tali kupas (pohon pisang) dijadikan kostum yang akan digunakan oleh para
penari Brutuk. Masing-masing penari menggunakan dua atau tiga rangkaian busana
dari daun pisang itu, sebagian digantungkan di pinggang dan sebagian lagi pada
bahu, di bawah leher. Penari-penari Brutuk menggunakan celana dalam yang juga
dibuat dari tali pohon pisang. Tidak diketahui mengapa daun-daun pisang itu
harus dari desa Pinggan (dengan daun-daun pisang pilihan), begitu juga untuk
masa penyucian selama 42 hari. Menurut masyarakat hal itu sudah mentradisi dan sudah seperti itu dari dulunya. Namun,
untuk alasan mengapa menggunakan daun pisang sebagai kostum/busana penari
Barong Brutuk ialah dikarenakan masyarakat desa Trunyan memanfaatkan bahan alam
yang memang tersedia melimpah di sekitar desa, yakni daun pisang, sebagai
bentuk pendekatan diri dan rasa syukur masyarakat terhadap hasil alam sekitar
tersebut.
Pada
hari pementasan (hari upacara sakral), Barong Brutuk mulai menari di pagi hari.
Mereka menari di areal pura, mulai dari jeroan, jaba tengah dan jaba pura. Mereka
berlari-lari dan memecut ke arah masyarakat yang menontonnya. Pecutan Barong
Brutuk ini rupanya berawal dari penyakit cacar dan penyakit kulit lainnya yang
pernah mewabah di Desa Trunyan. Dulu masyarakat mengobati penyakit itu dengan
pecut hingga luka berdarah dan akhirnya kering dengan sendirinya. Oleh sebab
itu, masyarakat setempat percaya bahwa pecutan akan memberikan kesembuhan dan
keselamatan. Di akhir pementasan (sore hari) penari Barong Brutuk melepas
topeng dan pakaiannya lalu melukat atau mandi di danau. Rangkaian tarian
ditutup dengan penari melakukan persembahyangan dan makan bersama (megibung).
MAKNA
DALAM TARIAN SAKRAL
Tersebut dalam Prasasti Trunyan, pada tahun 813 Saka (891
Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun
tempat suci. Tempat suci dibangun berupa bangunan bertingkat tujuh, yang merupakan
tempat pemujaan Bhatara Da Tonta. Tempat suci bertingkat tujuh ini dinamakan
Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan
disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura
Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat. Setiap dua tahun
sekali di pura ini digelar upacara besar. Tepatnya pada Purnama Sasih Kapat.
Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk
dan tari Sanghyang Dedari. Sayangnya, tarian Sanghyang Dedari kini sudah punah,
tidak ada lagi yang menarikannya. Kini yang ada hanya Tari Barong Brutuk dalam
pagelaran ritual keagamaan desa adat Trunyan.
Tradisi Topeng Barong Brutuk dalam tarian sakral Barong
brutuk dipercaya merupakan kelanjutan dari tradisi tarian sakral pada masa
pra-sejarah Bali di desa Trunyan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya arca
Bhatara Da Tonta, yang merupakan arca megalitik, yang dipercaya oleh masyarakat
merupakan perwujudan dari Ratu Gede Pancering Jagat yang memiliki unen-unen (anak buah) yang
digambarkan dalam bentuk Topeng-Topeng Barong Brutuk tersebut. Awalnya, dalam
tarian sakral Barong Brutuk para pelakon ditandai dengan kedok wajah sebagai
penanda. Kemudian tradisi itu berlanjut dengan menggunakan topeng sebagai
pengganti dari kedok muka tersebut, namun tidak diketahui sejak kapan tradisi
kedok muka Barong Brutuk tersebut beganti menjadi bentuk Topeng Barong Brutuk.
Topeng Barong Brutuk yang ada di desa Trunyan di masa kini,
memiliki beberapa peran dalam pementasannya pada tarian sakral Barong Brutuk. Peran-peran
tersebut, ialah: Raja Brutuk, Ratu Brutuk, Patih dan Kakak Sang Ratu,
peran-peran ini ditandai dengan adanya janur (dengan bunga) pada rambut/kepala
topeng yang memerankan. Selebihnya memerankan unen-unen (anak buah) Brutuk.
Barong Brutuk adalah tarian Barong yang dipercaya membawa keselamatan dan
berkah bagi penduduk Desa Trunyan yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.
Tarian yang
merupakan penggambaran kehidupan para leluhur di
jaman dulu sebagai unen-unen (anak
buah) dari leluhur orang Trunyan, yakni Ratu Sakti Pancering Jagat dengan
istrinya Ratu Ayu Dalem Pingit Dasar. Lecutan cambuk dari penari Topeng Barong
Brutuk saat menarikan tarian sakral tersebut dipercaya dapat memberi kesembuhan
(tamba/obat) bagi orang yang sakit, juga lembaran-lembaran daun kraras (daun
pisang kering) yang menjadi kostum penari Topeng Barong Brutuk yang dipercaya
dapat memberi kesembuhan bagi orang yang sakit, kesuburan bagi sawah garapan
masyarakat (bila ditebarkan disawah-sawah tersebut) dan penolak malapetaka bagi
rumah-rumah masyarakat (apabila disimpan didalamnya).
Barong Brutuk dipentaskan setiap dua tahun sekali, pada
upacara Ngusaba Pura Pancering Jagat yakni pada Purnama Kapat. Purnama Kapat (bulan
Purnama ke-empat dalam penanggalan Bali) itu diberi kode Kapat Lanang dan Kapat
Wadon oleh penduduk. Barong Brutuk hanya dimainkan pada Kapat Lanang oleh para
Teruna (remaja pria). Tahun berikutnya, saat Kapat Wadon, Barong Brutuk tidak
dipentaskan. Pada Ngusaba di Kapat Wadon ini, yang aktif adalah para Daa
Bunga (remaja puteri). Mereka akan mengisi kegiatan upacara dengan
menenun kain suci. Itulah sebabnya secara natural, Barong Brutuk hanya
dipentaskan setiap dua tahun sekali.
Secara niskala, Barong Brutuk adalah simbol penguasa di Desa Trunyan (Ida Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar (perempuan) dan Ratu Sakti Pancering Jagat (laki-laki) atau dalam prasasti disebut Ratu Datonta). Barong Brutuk menanamkan pengetahuan tentang leluhur kepada generasi penerus mereka. “Barong Brutuk merupakan simbol pertemuan perempuan dan laki-laki sebagai proses kehidupan manusia. Dalam agama Hindu disebut Purusa dan Pradana,” tutur Jero Mangku Kaler, Jero Mangku di Pura Pancering Jagat.
Secara niskala, Barong Brutuk adalah simbol penguasa di Desa Trunyan (Ida Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar (perempuan) dan Ratu Sakti Pancering Jagat (laki-laki) atau dalam prasasti disebut Ratu Datonta). Barong Brutuk menanamkan pengetahuan tentang leluhur kepada generasi penerus mereka. “Barong Brutuk merupakan simbol pertemuan perempuan dan laki-laki sebagai proses kehidupan manusia. Dalam agama Hindu disebut Purusa dan Pradana,” tutur Jero Mangku Kaler, Jero Mangku di Pura Pancering Jagat.
Gambar Barong Brutuk (Topeng dan
Kostumnya)
Narasumber:
Jero Mangku Pura
Pancering Jagat
Kepala Desa Trunyan
Masyarakat Desa Trunyan
Sumber Gambar:
http://balinatha.blogspot.com/
http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/
http://balebengong.net/
https://nimadesriandani.wordpress.com/
http://kesusastraandanbudayabali.blogspot.co.id/