Kamis, 29 Desember 2016

Makna Prasada Pada Pura Purusada Bagi Masyarakat Desa Kapal

MAKNA PRASADA PADA PURA PURUSADA BAGI MASYARAKAT DESA KAPAL
(studi etnografi)
Oleh Ni Kadek Astasari
1401405003

Pengantar.
Pura Sada sering disebut dengan Pususadha, berlokasi di Banjar Pemebetan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Pura Sada merupakan salah satu situs cagar budaya yang dilindungi. Menurut beberapa sumber, nama pura yang merupakan salah satu pura kahyangan jagat ini kemungkinan diambil dari palinggih prasada yang terdapat di uttamaning mandhala. Palinggih tersebut berbentuk pejal bertingkat-tingkat seperti limas berundak dengan ketinggian sekitar 16 meter. Di pura ini distanakan arca Dewata Nawa Sanga. Candi bentar pura ini memiliki kemiripan dengan gaya bangunan candi di Jawa Timur.



Di sekeliling candi terdapat beberapa bangunan suci, di antaranya palinggih Padarman Kerajaan Mengwi, palinggih Pasek, Ratu Panji Sakti dari Buleleng, palinggih Gusti Ngurah Celuk dan lainnya. Kehadiran beberapa palinggih yang mengitari candi, bisa dimaknai bahwa Pura Purusada juga berfungsi sebagai tempat pemersatu warga dari berbagai golongan. Ada juga yang mengait-ngaitkan tempat suci ini dengan kedatangan Danghyang Nirartha di Bali.
Sekitar tahun 1489 Masehi, Maharsi dari Jawa Timur memang sempat mampir ke pura yang diempon sekitar 2.500 KK. Kala itu, sang Maharsi yang di Bali juga kerap disebut Danghyang Dwijendra, datang ke Pura Taman Sari di wilayah Mengwi. Mendengar ada orang suci datang dan kebetulan di Pura Purusada saat itu sedang berlangsung upacara, akhirnya Bandesa Sukra atau lumrah pula dipanggil Bandesa Ganggangan yang saat itu memegang tampuk pimpinan di Desa Pakraman Kapal, mendatangi Danghyang Dwijendra. Bandesa ini mohon supaya sang Maharsi bersedia muput upacara di Pura Sadha. Permintaan Bandesa Ganggangan disanggupi. Danghyang Dwijendra akhirnya ikut muput piodalan di Pura Purusada.
Jadi, Maharsi Dwijendra hanya singgah dan bukan pendiri Pura Purusada, mengingat pura ini sudah ada jauh sebelum orang suci ini datang ke Bali. Sebagai penguat terdapat Purana Kahyangan Purusada, yang di dalamnya ada menyebutkan Pura candi Purusada, yang berlokasi di jagat Kapal, sebagai stana lingga Ida Batara Guru, yang menjadi awal jagat Bali serta sebagai stana Ida Dewi Manik Galih beserta swaminya Ida Raja Purusadha.
Di Pura Purusada tempat mohon kahuripan manusia di tanah Bali, makanya pura ini menjadi pusering jagat Bali. Kesimpulannya Pura Purusada sudah terbangun jauh sebelum Majapahit menguasai Bali. Sebagai kahyangan jagat, Pura Purusada memiliki tempat suci pasanakan, yakni Pura Dalem Bhangun Sakti yang berada di Banjar Basangtamiang Kapal.
Keterikatan antara kedua pura ini begitu melekat. Saat berlangsung upacara di Pura Sadha, maka Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti, arca (pralingga) plus patapakan barong, diusung ke Pura Sadha. Kalau di Pura Dalem Bhangun Sakti berlangsung piodalan, maka krama pangempon tempat suci ini terlebih dulu ngatur piuning (memberitahukan) sekaligus mohon tirta di Pura Purusada.
            Pura Purusada ini dibangun oleh Raja Mengwi sekitar abad ke-18 untuk menghormati leluhur keluarga kerajaan yakni Prabu Jayengrat. Pura ini sempat hancur saat gempa bumi tahun 1917, namun di tahun 1949, pura tersebut dibangun kembali. Rehab Pura Sada juga dikatakan sempat beberapa kali dilakukan jauh sebelum periode tersebut. Pada tahun 1260 Isaka, pura ini direhab pada masa pemerintahan Dalem Bali Mula dengan rajanya bergelar Asta Sura Ratna Bumi Banten. Konon, ketika itu, diutuslah Kebo Wayu Pawarangan atau Kebo Taruna untuk datang ke Kapal guna memperbaiki pura tersebut. Di akhir tugasnya merehab Pura Sada, Kebo Iwa (Karang Buncing) sempat membuat tempat pemujaan atau dharma pengastulan di sebelah tenggara Pura Sada. Dharma pengastulan ini sebagai tempat pemujaan warih atau pertisentana Karang Buncing sebelah barat Tukad Yeh Ayung. Selain itu, Pura Sada juga direhab tahun 1400 Masehi pada zaman Kerajaan Pangeran Kapal-Beringkit. Rehab berikutnya berlangsung pada tahun 1600an. Piodalan di Pura Sada dilaksanakan tiap enam bulan sekali setiap Tumpek Kuningan.
 Pura Sada terdiri dari Tri Mandala yaitu utamaning mandala (jeroan), madyaning utama (halaman tengah) dan nistaning mandala (jaba sisi). Di antara halaman tengah dan halaman utama terdapat candi kurung, sedangkan antara halaman tengah dengan jaba sisi terdapat candi bentar. Di utamaning mandala terdapat pelinggih Padmasana, Pesimpangan Batara Gunung Batur, Pesimpangan Gunung Agung, Pesimpangan Batukaru, Pelinggih Batara Manik Galih, Pelinggih Batara di Pura Sakenan, pelinggih atau candi Prasada, bale penyimpenan, bale pesambyangan, pawedan, bale piyasan, pelinggih Tri Murti, pesimpangan I Gusti Ngurah Celuk, Ratu Made, Ratu Made Sakti Blambangan, Ratu Ngurah Panji Sakti, bale piyasan, Pura Teratai Bang dan sebagainya. Selain itu terdapat juga Tugu Bala Satya dan Mekel Satya yang merupakan simbolisasi dari pengikut setia dari Putra Raja Mengwi yang berjumlah 64 buah.


Pelinggih yang khas di pura ini adalah Prasada. Prasada itu merupakan pelinggih Ida Batara Pasupati atau Siwa Guru atau Sang Hyang Lingga Buwana atau Sang Hyang Druwaresi.
Sementara di madyaning mandala terdapat gedong pererepan, bale sumanggen, bale gong. Biasanya sesuhunan di Pura Natar Sari Apuan-Tabanan, Pura Pucak Kembar Pacung Baturiti dan Pura Pucak Padangdawa Desa Bangli-Baturiti Tabanan tatkala lunga ke jaba jero serangkaian pujawali, marerepan di pura ini dan kalinggihang di sebuah pelinggih di madyaning mandala. Sementara di jaba sisi terdapat pelinggih Ratu Made Sedahan.

Pembahasan.
Pura adalah tempat suci agama Hindu, yang sering pula di dalamnya ada Palinggih yang berbentuk Candi atau Prasada. Sebelum datangnya pengaruh Hindu di Indonesia, nenek moyang bangsa Indonesia telah mengenal berbagai macam upacara yang berhubungan dengan kehidupan rokhani dewasa itu. Terutama tentang pemujaan terhadap roh nenek moyang, dengan mendirikan bangunan-bangunan yang berbentuk teras piramid, pada lereng atau puncak pegunungan, yang menunjukkan adanya suatu anggapan, bahwa gunung adalah tempat keramat sebagai alam arwah. Sedangkan bagaimana bentuk upacara saat itu sampai sekarang belum diketahui bentuknya dengan pasti.
Kemudian pada jaman perkembangan kebudayaan Hindu, anggapan tentang gunung yang merupakan tempat roh nenek moyang masih tetap dilanjutkan, disamping gunung juga dianggap sebagai tempat dewa-dewa. Untuk keperluan pemujaan terhadap dewa-dewa, dewa-dewa itu diimaginasikan dalam bentuk arca-arca, yang kemudian ditempatkan dalam suatu bangunan yang didirikan dengan mengambil bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa yang sebenarnya, yaitu gunung Mahameru, yang kemudian dikenal dengan nama prasada atau yang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan candi.

Prasada merupakan suatu bangunan sebagai tempat sementara dari dewa-dewa yang merupakan replika (bentuk tiruan) dari gunung Mahameru. Karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.
Disamping itu prasada pada Pura Purusada juga merupakan lambang alam semesta dengan tiga bagiannya, kaki Candi melambangkan alam bawah, badan Candi melambangkan alam tengah dan atap Candi, sebagai alam atas. Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk denahnya yang berbentuk persegi empat. Pada bagian kiri-kanan tangga masuk dihiasi ukiran makara. Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan. Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih. Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwahloka. Yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu. Tubuh candi terdiri dari garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca dewata nawa sangga yang dipuja di candi itu. Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swahloka. Yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya.
Selain itu, prasada pada Pura Purusada juga dapat melambangkan Eka Dasa Aksara, yakni sebelas aksara suci dalam doa mantra yang sering Pancaksara digabungkan dengan Panca Brahma Wijaksara dan ditambah Om sehingga berbunyi : Om, Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Dikatakan sebagai lambang Eka Dasa Aksara karena Prasada yang terdapat pada Pura Purusada atapnya yang bertingkat sebelas. Eka Dasa Aksara juga merupakan sumber dari kekuatan alam semesta yang terletak di dalam tubuh kita (bhuana alit) ataupun dalam jagat raya ini (bhuana agung).
Bagi beberapa masyarakat desa Kapal, prasada yang terdapat pada Pura Purusada juga merupakan tempat untuk pemujaan Dewata Nawa Sangga termasuk Siwa. Di pura ini distanakan arca Dewata Nawa Sangga. Delapan arca dewa distanakan di delapan arah pada atap pertama. Sedangkan arca Siwa diletakkan pada atap kedua di arah barat di atas arca Mahadewa. Dewata Nawa Sangga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin. Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu sebagai penguasa Arah Utara atau Uttara, Sambhu sebaga penguasa Arah Timur Laut atau Airsanya, Iswara sebagai penguasa Arah Timur atau Purwa, Maheswara sebagai penguasa Arah Tenggara atau Gheneya, Brahma sebagai penguasa Arah Selatan atau Daksina, Rudra sebagai penguasa Arah Barat Daya atau Nariti, Mahadewa sebagai penguasa Arah Barat atau Pascima , Sangkara sebagai penguasa Arah Barat Laut atau Wayabhya, dan Siwa sebagai penguasa Arah Tengah atau Madya.


SUMBER
Data penelitian ini diperoleh dari beberapa narasumber yang merupakan pengempon Pura Purusada Kapal,yaitu :
1. I Ketut Sudarsana
2. I Nyoman Nuada
3. A.A Gde Dharmayasa
4. I Made Reta




7 komentar:

  1. hai asta, mau bertanya tentang ciri khas dan ragam hias apa saja yang terdapat pada pura purusada ini? makasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai tika, terima kasih pertanyaannya
      prasada pura purusada ini memiliki ciri khas bertingkat 11 serta didalamnya terdapat arca dewata nawa sanga. ragam hias dari prasada ini sama seperti prasada pada umumnya. Bahan utama pembuatan prasada ini adalah batu bata, batu padas, kayu dan ijuk. Ragam hiasnya terdapat sulur-suluran tumbuhan, kura-kura, gajah serta terdapat relief naga.

      Hapus
  2. asta, ada gak makna khusus adanya prasada tersebut bagi masyarakat kapal?

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai bella , terima kasih pertanyaannya
      makna khusus prasada bagi masyarakat kapal adalah sebagai lambang dewata nawa sanga karena terdapat arca dewata nawa sanga pada prasada tersebut. Dewata nawa sanga diyakini oleh umat Hindu sebagai dewa pelindung di setiap penjuru arah mata angin. Jadi dengan adanya arca dewata nawa sanga pada prasada pura purusada maka masyarakat kapal merasa bahwa selalu dilindungi oleh para dewa di setiap penjuru arah mata angin.

      Hapus
  3. asta,

    apa saja pola hias dan ukiran yang terdapat pada prasada tersebut?
    dan makna nya apa saja yang terkandung dalam pola hias dan ukiran pada prasada tersebut?

    terimakasih

    BalasHapus
  4. hai selamat pagi asta. saya mau menanyakan apa arti dari nama pura sada atau purusada? dan bagaimana pura ini mendapat sebutan pura khayangan? terima kasih dan selamat pagi

    BalasHapus