Kamis, 29 Desember 2016

Makna Instrument Suntiang Pada Pakaian Adat Minangkabau

MAKNA INSTRUMENT SUNTIANG (SUNTING) PADA PAKAIAN ADAT MINANGKABAU
(SUMATRA BARAT)
TINJAUAN ETNOARKEOLOGI



ATIKA NOVIANA
1401405004
ARKEOLOGI 




ABSTRAK

Bab ini mengeksplorasi sejarah masing-masing dari kedua ETNOARKEOLOGI dan arkeolog dari masa lalu kontemporer. Di permukaan dua subdisiplin tampaknya memiliki banyak kesamaan, mereka berdua terlibat dalam studi tentang masyarakat masa kini dan masa lalu. Namun, metodologi yang masing-masing mempekerjakan dalam tujuan ini, sebagai akibat dari pilihan sejarah tertentu yang praktisi setiap subdisiplin dibuat, sangat berbeda. Praktisi arkeolog dari masa lalu kontemporer umumnya menggunakan metodologi arkeologi yang dikembangkan dari ETNOARKEOLOGI Amerika pada 1980-an, sementara ETNOARKEOLOGI pasca-prosesual di Inggris melakukan perbaikan besar-besaran dari ide-ide ini. Dikatakan bahwa arkeolog dari masa lalu kontemporer bisa memperoleh banyak dari pemahaman tentang perkembangan terbaru dalam ETNOARKEOLOGI berkenaan dengan metodologi dan etika representasi, karena mereka memiliki dari ETNOARKEOLOGI prosesual.

 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia pada masa lampau melalui benda tinggalannya.
Etnografi merupakan kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian yang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok masyarakat.
Etnoarkeologi adalah cabang ilmu atau disiplin imu arkeologi yang mempelajari dan menggunakan data etnografi untuk menangani atau membantu memecahkan masalah-masalah arkeologi dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang masa lalu. Dengan menggunakan teknik ethnoarchaeological, maka para arkeolog mencoba untuk menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Dalam studi etnoarkeologi, dikenal dua macam pendekatan yaitu :
1.   Pendekatan kesinambungan sejarah budaya (direct historical approach). Pendekatan ini berdasarkan pada budaya yang masih berjalan sekarang atau masih dapat kita lihat adalah merupakan perkembangan budaya pada masa lalu. Oleh karena itu, pendekatan ini akan berarti jika data etnoarkeologi dengan data arkeologi saling berkaitan sejarahnya. Oleh karena itu penelitian etnohistori sangat diperlukan.
2.   Pendekatan perbandingan umum (general comparative approach), pendekatan ini didasari oleh pandangan bahwa hubungan antara budaya materi dengan pendukungnya telah punah dengan budaya materi yang ada sekarang mempunyai persamaan bentuk masih dapat dilakukan meskipun tidak mempunyai kaitan sejarah ruang maupun waktu.

Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan suntiang (sunting)?
2.      Apa saja komponen yang terdapat pada suntiang (sunting)?
3.      Bagaimana cara mengaplikasikan suntiang (sunting)?
4.      Apa saja jenis dan ragam suntiang (sunting)?
5.      Apa makna dari suntiang (sunting)?
  
Tujuan Penelitian
1.      Dapat mengetahui pengertian dari suntiang (sunting)
2.      Mengetahui komponen apasaja yang terdapat pada suntiang (sunting)
3.      Mengetahui cara mengaplikasikan suntiang (sunting)
4.      Mengetahui jenis dan ragam dari suntiang (sunting)
5.      Mengetahui makna yang terkandung pada pemakaian suntiang (sunting)




PEMBAHASAN

Pada kajian etnoarkeologi ini saya membahas pada pendekatakan emik (benda yang bersifat faktual) yaitu tentang “Makna Instrument Suntiang (Sunting) pada pakaian adat Minangkabau Sumatera Barat”.
Sunting atau sering disebut dengan kata suntiang  merupakan kata yang berasal dari bahasa Minang Sumatera Barat. Sunting atau suntiang merupakan instrument yang menjadi dasar atau penting pada pakaian adat wanita minang terutama “anak daro” (pengantin wanita) dalam acara pernikahan atau disebut dengan kata baralek (resepsi pernikahan). Dalam adat Minangkabau, pernikahan merupakan salah satu masa peralihan yang sangat berarti karena merupakan permulaan masa seseorang melepaskan diri dari kelompok keluarganya untuk membentuk kelompok kecil milik mereka sendiri. Karena itu peristiwa pernikahan sangatlah penting bagi siklus kehidupan seseorang termasuk oleh orang Minangkabau.
Hari tersebut merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh kedua calon mempelai dan keluarga dari kedua belah pihak. Ditandai dengan prosesi upacara adat dan keagamaan yang sesuai dengan pepatah minang “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Seluruh rangkaian upacara pernikahan adat, perlengkapan, tata rias membutuhkan persiapan yang lama dan sangat terperinci.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, di Minangkabau pada umumnya “anak daro” (pengantin perempuan) menggunakan suntiang (sunting).
Suntiang (sunting) adalah hiasan kepala pengantin perempuan di Minangkabau Sumatera Barat. Hiasan yang besar warna keemasan atau keperakan yang khas itu, membuat pesta pernikahan (baralek) budaya Minangkabau berbeda dari budaya lain di Indonesia. Perempuan Minangkabau mesti bangga dengan budaya minangkabau, terutama soal pakaian pengantin. Secara turun temurun, busana pengantin Minangkabau sangat khas, terutama untuk perempuannya, yaitu selain baju adat-nya baju kurung panjang dan sarung balapak, tak ketinggalan suntiang.
Suntiang (sunting) memang biasanya langsung diasosiasikan dengan kata “berat”. Wajar  karena suntiang itu terbuat dari lempengan logam. Pada zaman modern ini orang-orang sudah mulai kreatif dengan menciptakan suntiang dari bahan plastik, kurang lebih seperti payet sehingga membuat pemakainya tidak menanggung beban yang berat lagi saat dikenakan dikepala.
Walaupun demikian, orang-orang kebanyakan terutama anak daro (pengantin wanita) dalam acara pernikahan atau baralek lebih suka memakai yang logam, walaupun itu memberikan beban yang jauh lebih berat di bandingkan yang terbuat dari plastik. Karena dalam segi warna maupun bentuk lebih bagus yang asli logam dari pada yang terbuat dari plastik. Warna yang terdapat pada suntiang yang terbuat dari plastik lebih ke warna kuning dan tidak keemasan, sehingga dapat mengurangi unsur estetika suntiang saat memakainya.
Suntiang adalah salah satu bentuk hiasan kepala anak daro. Suntiang yang dipakai secara umum sekarang biasa disebut suntiang gadang. Nama ini untuk membedakan dengan suntiang ketek (kecil) yang biasa dipakai oleh pendamping pengantin yang disebut pasumandan.
Keindahan Suntiang diawali dengan susunan kembang goyang yang digunakan oleh tiap pengantin wanita. Pada lapisan bawah Suntiang digunakan kembang goyang yang dinamakan Bungo Sarunai yang terdiri dari tiga hingga lima deretan. Lapisan kedua digunakan kembang goyang yang dinamakan Bungo Gadang yang juga terdiri dari tiga hingga lima deretan. Terletak paling atas adalah Kambang Goyang dengan hiasan-hiasan lainnya yang disebut Kote-kote. Di bagian belakang sanggul terdapat Tatak Kondai dan Pisang Saparak yang menutupi sanggul bagian belakang. Sedangkan di dahi pengantin wanita terdapat Laca, dan Ralia di bagian telinga.
Suntiang juga ada beberapa bentuk. Selain yang standar berbentuk setengah lingkaran yang umum dipakai, juga ada suntiang khas masing-masing daerah di Sumatera Barat. Di antaranya suntiang Sungayang (Tanah Datar) yang memiliki mahkota, suntiang kurai (Bukittinggi), suntiang Pariaman, dan Solok Selatan, dan Suntiang Solok yang dirangkai tanpa kawat.
Dahulu, berat sunting mencapai beberapa  kilogram sebab terbuat dari alumunium dan besi-besi, ada yang terbuat dari emas, dan harus ditancapkan satu persatu pada rambut mempelai wanita.  Memakai suntiang kerap kali juga salah satu yang ditakutkan calon pengantin perempuan Minang atau yang biasa disebut anak daro. Suntiang (sunting) yang beratnya bisa mencapai 3,5-5 kg (jadi hampir sama dengan berat topi baja militer) dan mesti dikenakan di kepala selama pesta berlangsung umumnya sehari-semalam, membuat si calon pengantin perempuan yang disebut ‘anak daro’ was-was dan cemas akan tidak sanggup menjalankannya. Bayangkan kalau dipakai selama satu dua jam. Bahkan bisa berkeringat dan bikin anak daro (pengantin perempuan) meringis. Namun semakin modernnya fashion, suntingpun ikut terkena imbasnya,  tapi tetap berkiblat pada budaya Minangkabau. Bahkan sekarang sunting tersedia yang tak berat dan nyaris seperti  menggunakan bando biasa saja, sehingga anak daro lebih santai dan bergerak leluasa tanpa keluhan sakit kepala.
Suntiang (sunting) sendiri dirangkai menggunakan kawat ukuran satu perempat yang dipasang pada kerangka seng aluminium seukuran kepala. Pada kawat itu dipasang sedikitnya lima jenis hiasan. Kelima hiasan itu dinamakan suntiang pilin (sunting pilin), suntiang gadang (sunting besar), mansi-mansi (kawat-kawat), bungo (bunga), dan jurai-jurai. Besarnya sebuah suntiang diukur dengan jumlah mansi atau kawat. Suntiang paling besar ukurannya 25 mansi, kemudian 23 mansi, dan 21 mansi yang paling umum dipakai saat ini. Suntiang yang dibuat juga dibagi tiga jenis berdasarkan bahan.
Yang lebih berat dan mahal yang masih dibuat saat ini terbuat dari mansi padang (sejenis seng aluminium kuningan). Kemudian mansi kantau atau biasa, dan yang sekarang mulai banyak dipakai, terutama untuk pelajar, suntiang dari plastik yang jauh lebih ringan. Tapi yang paling bagus sebaiknya nanti dibuat dari titanium, sayangnya masih mahal.
Suntiang (sunting) tidak terlepas dari seperangkat pakaian limpapeh Rumah nan Gadang di Minangkabau. Suntiang ini dipakai oleh anak gadis yang berpakaian adat maupun oleh pengantin wanita (anak daro). Mengenai jenis dan nama suntiang (sunting) ini terdiri dari berbagai ragam.

Secara garis besar jenis suntiang (sunting) ini terdiri dari 4 yaitu :
1.   Suntiang bungo pudiang (sunting berbunga puding)
2.   Suntiang pisang saparak (sunting pisang sekebun)
3.   Suntiang pisang saikek (sunting pisang sesisir)
4.   Suntiang kambang loyang (sunting kembang loyang)

Dari segi ikat (dandanan) dengan segala variasinya suntiang (sunting) ini dapat pula dibedakan menjadi suntiang ikek pesisir (sunting ikat Pesisir), suntiang ikek Kurai (sunting ikat Kurai), suntiang ikek Solok Selayo (sunting ikat Solok Selayo), suntiang ikek Banuhampu Sungai Puar (sunting ikat Banuhampu Sungai Puar), suntiang ikek Limo Puluah Koto (sunting ikat Lima Puluh Kota), suntiang ikek Sijunjuang Koto Tujuah (sunting ikat Sijunjung Kota Tujuh), suntiang ikek Batipuah Sapuluah Koto (sunting ikat Batipuh Sepuluh Kota), suntiang ikek Sungayang (sunting ikat Sungayang), dan suntiang ikek Lintau Buo (sunting ikat Lintau Buo).
Suntiang ikek bungo pudiang (sunting ikat bunga puding) banyak dipakai didaerah Batipuh Tanah Datar. Suntiang pisang separak (sunting pisang sekebun) banyak dipakai didaerah Luhak Lima Puluh Kota, Solok, Sijunjung Koto Tujuh, dan Sungai Pagu. Suntiang pisang sasikek (sunting pisang sesisir) banyak dipakai di daerah Pesisir. Suntiang kambang loyang (sunting kembang loyang) banyak dipakai di daerah lain.  



PENUTUP

Kesimpulan
Suntiang merupakan hiasan kepala yang menjadi ciri khas dari daerah Minangkabau pesisir yang selalu di pakai oleh pengantin wanita. Suntiang ini selalu menjadi daya tarik karena memang salah satu hiasan terindah yang tidak dimiliki oleh pengantin wanita di daerah-daerah lain. Jadi wajar kalau benda yang dipakai ini selalu menjadi pesona terindah bagi yang melihatnya.
Dengan bentuk yang unik dan penggunaan bahannya yang sangat indah menjadikan si pengantin wanita terlihat seperti puteri kerajaan yang memakai mahkota. Pada lapisan bawah menggunakan kembang goyang atau bungo sarunai yang biasanya terdiri dari tiga atau lima deretan. Untuk lapisan keduanya di sebut dengan bungo gadang. Dan bagian atas di sebut kote-kote. Suntiang pisang saparak dari Solok Selatan ini menggunakan bahan yang berbeda pula salah satunya seng alumunium kuningan.
Namun, dibalik beratnya suntiang, bisa dibilang itu melambangkan beratnya beban dan tanggung jawab yang akan dipikul si anak daro (pengantin wanita) dalam perjalanan hidupnya sebagai istri dan ibu kelak.



 LAMPIRAN :












SUMBER

Wawancara narasumber pembuat suntiang gadang
Wawancara pemilik atau penyewa suntiang anak daro
Buku Budaya Alam Minangkabau (BAM)










11 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Hai tika :) mau nanya nih, itukan ada beberapa suntiang, nah yang paling sering digunakan itu yang mana ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. trimakasih pertanyaannya asta, yang paling sering digunakan itu adalah suntiang gadang karna dilihat dari bentuk dan bahannya lebih mencirikan khas minang dan nilai keindahannya lebih nampak yaitu berbahan emas atau perak.

      Hapus
  4. Keren Suntiangnya. Informatif banget buat anak daro yang ingin nikah khususnya, dan sebuah wawasan baru nih buat orang awan seperti saya.
    Ada gak makna dari masing-masing komponen suntiang? Dan apakah ada perbedaan makna dan tujuan dari penggunaan Suntiang bungo pudiang, Suntiang pisang saparak, Suntiang pisang saikek, dan Suntiang kambang loyang?

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih atas pertanyaannya bela, jadi makna dari masing-masing komponen suntiang itu terletak pada jumlah tingkatan dari suntiang tersebut yaitu ganjil, dari 3-5 dan 7-11 tetapi untuk makna kenapa harus ganjil saya belum bisa memastikan jawabannya. dan untuk pertanyaan kedua apakah ada perbedaan makna dan tujuan? ada, tetapi itu terletak pada bahan,corak/bentuk,dan adat tiap-tiap daerah itu sendiri. makasi

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Dapat diketahui suntiang tersebut memiliki banyak jenis dan motif, nah yang akan saya tanyakan adalah apakah tiap jenis suntiang yang ada dapat menunjukkan status sosial bagi perempuan yang menggunakannya dan disamping itu apakah terjadi pergeseran fungsi dan makna suntiang tersebut?. Sekian terima kasih tik

    BalasHapus
  7. dahalm makalah diatas yang anda paparkan ,
    suntiang adalah salah satu hiasan kepala untuk anak daro, dalam acara pernikahan.

    saya mempunyai 2 pertanyaan dalah makalah ini.
    1 apakah suntiang tersebut hanya digunakan untuk upacara pernikahan saja dan apakah boleh digunakan untuk acara atau upacara yang lainnya??


    2. dalam penggunaan Suntiang pada pernikahan diatas yang dipaparkan di makalah anda yaitu "Pada zaman modern orang-orang menciptakan suntiang dengan bahan plastik, yang sehingga pemakaiannya tidak menanggung berat beban yang digunakan pada saat acara tersebut."

    meskipun pengaplikasian plastik payet dengan warna kuning dan tidak keemasan dalam hal visual tidak mengurangi unsur estetika, namun apakah dalah hal sakral bisa berpengaruh ??


    mohon penjelasannya. terimakasih


    BalasHapus
  8. Mau tanya suntiang itu sudah ada sejak tahun berapa? Dan siapa pembuat suntiang pertama kali ?

    BalasHapus