Jumat, 30 Desember 2016

Arsitektur Sao Pile, Kampung Adat Wajo, Nagekeo, Flores

ARSITEKTUR SAO PILE (KAMPUNG ADAT WAJO), NAGEKEO, FLORES
OLEH : 
NOBERTUS  NECKE
1401405034

PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
            Nagekeo merupakan salah satu kabupaten yang memiliki beragam budaya. Keanekaragaman budaya ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan juga masyarakat pendukungnya. Keunikan budaya tersebut dimanifestasikan dalam rumah adat dan juga ornamen pelengkapnya. Tentunya kebudayaan nagekeo sedikit berbeda dengan kebudayaan ngada walaupun sebenarnya masih dalam satu kesatuan. Hal konkret yang bisa dijadikan study komparatif adalah rumah adat.
            Rumah adat masyarakat nagekeo disebut sebagai sao pile, suatu rumah tradisional yang mencirikan masyarakat nagekeo itu sendiri.  Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting dalam pembentuk karakter masyarakat nagekeo. Sa’o Pile tersebut terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta” yang mempunyai fungsi sosial dan religius. Disebut sebagai Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula.
Bertolak dari hal ini, Sao Pile mempunyai gaya arsitektur yang unik. Arsitektur sao pile masih bercorak tradisional, seperti yang ada  pada rumah adat di pulau Flores pada umumnya. Dalam penelitian ini penulis mencoba membedah arsitektur Sao Pile yang terdapat di kampung Wajo. Dimana dalam dalam Sao Pile tersebut terdapat dua patung masa lalu yang diyakini masyarakat setempat sebagai penjaga kampung. Keberadaan dua patung ini juga mempengaruhi pola arsitektur Sao Pile pada kampung Wajo.
            Selain itu, karakteristik Arsitektur Sao Pile di kampung Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat.  Yang mana kedudukan Sao Pile ini terletak pada kontur yang lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang di laut’ (bagian Selatan)  yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pola perkampungan kampung adat Wajo?
2.      Bagaimana arsitektur Sao Pile dan tahapan pembuatannya?
3.      Bagaimana eksistensi Sao Pile dalam upacara adat kampung Wajo?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.      Menjelaskan secara singkat pola pemukiman kampung Wajo
2.      Mendeskripsikan arsitektur Sao Pile dan tahapan pembuatannya
3.      Menjelaskan upacara adat yang berkaitan dengan pembangunan Sao Pile



PEMBAHASAN
2.1    POLA PERKAMPUNGAN   ADAT  WAJO
             Kampung Adat Wajo berada di Desa Wajo, Kecamatan Keo-Tengah, Kabupaten Nagekeo. Kabupaten ini secara geografis terletak diantara 80 26’ 00’’-80 64’ 40” Lintang Selatan dan 1210 6’ 20”-1210 32’ 00” Bujur Timur. Bagian Utara berbatasan dengan Laut Flores, bagian Selatan berbatasan dengan laut Sawu, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Ende, sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Ngada.
Menurut bapak Petrus Ndapa karakteristik Arsitektur Sao Pile di kampung Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat. PolaPerkampungan adat Wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunan disekitarnya (wawancara 11 November 2016).
            Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang di laut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi arsitektur serta pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.
Filosofi yang menjadi bahan acuan bagi masyarakat wajo dalam menentukan orientasi pola perkampungannya adalah, sebagai berikut;
·      Terdapat ketentuan-ketentuan khusus dalam Pola Perkampungan adat Wajo, misalnya arah jalan masuk, baik dalam keseharian maupun ritual adat, yakni harus melalui tangi Kodi, sebagai pintu masuk semua rangkaian kegiatan adat dengan ketentuan bila naik ke Sa’o Pile (Rumah Pemali), harus melepas alas kaki (sandal) dan mengenakan sarung adat.
·      Arah masuk kampung adatdimulai dengan pola melingkar, dimulai dari arah kanan dan keluar harus mengitari Sa’o Pile dari arah kanan ke kiri, dengan ketentuan, jika sudah keluar dari perkampungan, sesuai adat tidak  Range (jarak)-boleh kembali ke belakang (pada waktu yang bersamaan); rumah kepala suku menjadi tata pola perkampungan adat wajo, yakni tiap kepala suku (ada 6 suku) masing-masing dipisahkan oleh 2 rumah Masyarakat biasa, dengan vocal point berupa dinding bambu ukiran (motif kain adat wajo).
2.2  ARSITEKTUR SAO PILE
            Rumah Pemali (Sa’o Pile) dan Puu Peo menjadi kebanggaan dan bagian terpenting ijdalam pembentuk karakter orang Wajo. Untuk Rumah Pemali (Sa’o Pile) terbentuk dari syair-syair lagu adat, yakni “Ndada ta”, dengan fungsi utama atau pokok, yaitu fungsi Sosial dan fungsi Religius. Disebut memiliki fungsi Sosial, karena Rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat berkumpulnya warga kampung ataupun suku (6 suku) dan tempat bermusyawarah. Sedangkan sebagai fungsi Religius, karena rumah Pemali (Sa’o Pile) merupakan tempat dilakukannya upacara adat dan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka milik suku. Adanya Ruang Suci (Sakral) (Tubu nusu) dan benda-benda pusaka yang tidak boleh disentuh oleh masyarakat awam, membuktikan bahwa rumah pemali bukan saja sebagai tempat pemersatu semua suku, melainkan juga sebagai tempat tinggal Roh Leluhur (Retha).
            Disebut Sa’o Pile (Rumah Pemali), karena merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula. Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai bangunan. Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai (lambang seekor Ular, penjaga kampung “Ine mbupu”)(informan bpk. Hani Siwa (wawancara 21 November 2016)).
Secara hierarki Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).
Proses mendirikan Sa’o Pile ini memakan waktu kurang lebih 6 bulan dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa Rumah Pemali (Sa’o Pile) memiliki nilai dan makna yang berarti dan mahal, sehingga tidak sembarang dibangun, akan tetapi melalui ritual adat dengan ketentuan khusus pula.
2.2.1  TAHAP-TAHAP PEMBUATAN DAN BAGIAN-BAGIAN  SAO PILE
            Untuk mendirikan atau membangun Sa’o Pile harus  berdasarkan kesepakatan semua Suku (6 Suku) yang dilakukan  dalam ritual atau Upacara Adat, yakni :
·      Matu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
·      Setelah semua anggota suku dengan keturunannya sudah berkumpul, ritual adat yang harus dijalankan yaitu meminta petunjuk, arahan sekaligus izin dari leluhur, yaitu “Tika” artinya memberi makan (sesajen) kepada leluhur (Ndewa rekta nee ngae rade);
·      Untuk mengumpulkan elemen-elemen (bahan-bahan) bangunan juga harus melalui ritual adat yakni “Raba taka” artinya mengasah parang pada waktu memotong tiang dan lain-lain terlebih dahulu didarahi dengan darah kerbau;
·      “Woti geri” artinya mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan pada setiap elemen konstruksi.
 Dominikus Jawa mengatakan bahwa pada saat membangun Sa’o Pile, elemen-elemen konstruksi langsung ditempatkan pada posisinya secara bertahap (tidak dirangkaikan terlebih dahulu), yakni :
a.Mendirikan  tiang utama (Deke).
Tiang utama tersebut berjumlah 6, yakni didirikan sesuai lingkaran suku dari kanan ke kiri, melambangkan suku-suku yang ada ;
·      Emb lau;
·      Embumbani
·      Koto bhisu mena;
·      Koto bhisu Rade;
·      Jemu dhedhe wawo;
·      Jemu dhedhe wena.
Tiang utama (Deke) harus menggunakan kayu khusus yaitu “kaju embu” yang diambil dari kebun pribadi Masyarakat Wajo, yakni di Nio budha, Ae toe, natu dan Baomau. Tiang utama tersebut  penuh ukiran dengan system konstruksi ditanam dalam tanah yang beralaskan batu ceper (Watu) dan dibalut oleh tali Ijo (ijuk).
b. Tiang utama penopang “Tenga” (sloff bawah) yaitu balok berbentuk kuda “Kaju mali kuda”, diambil dari undemi (Kebun) dengan system konstruksi “Monge”.
c. Karena merupakan rumah panggung, Sa’o Pile terdiri dari beberapa tangga yang harus ditapaki (dilewati bertahap), yakni :
1.    Ngi kajo yaitu tangga pertama, berupa balok panjang
2.   Kana wari disebut sebagai jembatan ke rumah adat yang dibantu dengan seutas tali ijo (konon menggunakan ekor kerbau), terbuat dari Kaju Oja yang diambil di “lewa”. Kana wari ini dilengkapi dengan ornament berupa patung yang diyakini sebagai penjaga pintu masuk Rumah Pemali (“Ana Jeo”) yakni ;
·  Daki Weke (sebelah kiri);
·  Nenbo Neke (sebelah kanan)
Konon dua patung ini adalah Ana jeo, yaitu 2 orang anak yang menjaga seluruh kampung adat Wajo;
d. Kodi Panda
Yakni balok lantai pembatas pintu masuk (Wesa) dengan Kana wari. Bagi Masyarakat wajo, aturan atau pantangan memasuki rumah pemali adalah tidak boleh terantuk (tersandung) pada balok Kodi panda. Hal ini menandakan tidak diperkenankan untuk masuk ke Sa’o Pile (Pemali).
e. Wisu (kaju mbaa tolo)
Yakni kayu merah ½ dinding sebagai bagian konstruksi kolom-kolom pembentuk dinding yang diambil di Koi (Kebun).
f. Lantai “kembi”, terbuat dari belahan bambu dengan menggunakan konstruksi ikat silam dengan tali “Nao” (fii bheto) pada fii kodi ( balok lantai) atau Dado Kodi.
g. Rumah Sa’o Pile berbentuk limas, sehingga jenis atapnya menggunakan jurai dengan konstruksi diikat oleh tali ijo (tali ijuk), yakni :
·      Soku dok, yakni balok Jurai;
·      Mangu atau mbaa tolo yakni tiang nok, dari kayu merah;
·      Kada peda, yakni ½ kuda-kuda;
·      Soku papa, yakni gording dari bambu;
·      Pama lindi, yakni papan list plank penuh ukiran;
·      Alang-alang dan ijuk pada jurai, dikumpulkan dari masing-masing suku.      Konstruksi alang-alang ini diapit oleh bambu dengan ukuran 1 meter dan diikat pada reng bambu dengan jarak 0,5 meter.
h. Loteng atau Kodi Panda
Kodi panda yakni ruang pada lantai 2 yang difungsikan sebagai tempat memanggil atau mengumpulkan semua warga kampung untuk mempersiapkan peralatan perang jika ada peperangan. Biasanya cara mengumpulkan semua warga kampung Wajo diiringi dengan musik gong, gendang, suling dan juga syair-syair lagu.
2.3  UPACARA ADAT  DAN FILOSOFI  SAO PILE
            Tujuan mengadakan upacara atau ritual adat dalam membangun rumah pemali, diyakini oleh masyarakat adat Wajo sebagai wujud permintaan kepada leluhur untuk melindungi anak cucunya dari seluruh anggota suku agar sehat dan berhasil dalam membangun (Mbinge woso kupa) dan  mengembangkan keturunan agar generasi-generasi berkembanga pesat.
Ritual tersebut sebagai berikut;
·      Mutu mumu, artinya 6 kepala suku beremuk (berdialog) untuk mencari anggota suku untuk merencanakan bangunan rumah adat;
·      Tika, yakni member sasajen (makan) kepada leluhur (“ndewa rekta nee ngae rade”);
·      Raba taka, yakni upacara mengasah parang pada waktu memotong tiang dan bahan lainnya yang terlebih dahulu didarahi oleh darah kerbau;
·      Woti geri, yakni upacara mengukir lambang-lambang atau symbol kebudayaan Wajo;
·      Lombo lindi, yakni memotong alang-alang agar rapih (finishing);
·      Pije puu, meletakkan tanah di sekitar tiang dan peo agar kuat yang didarahi dengan darah kerbau.
Dalam ritual adat hewan yang menjadi kurban pokok yaitu babi, digunakan untuk mendarahi kayu-kayu atau alang-alang selama masih di hutan atau di kebun, dan kerbau digunakan untuk mendarahi bahan-bahan bangunan disuatu tempat untuk siap dibangun (izin pada penunggu pohon). Selain itu tarian yang digunakan selama upacara adat yaitu tarian Pute wutu oleh ana susu. Menurut masyarakat Wajo rumah sa’o pile dibangun berdasarkan syair-syair lagu “Ndada ta”.
            Denah dan pola ruang dalam tatanan arsitektur tradisional  Wajo memiliki pola pikir yang bersifat sakral dan selalu dapat ditinjau secara hierarkis, yaitu horizontal dan vertikal. Rumah pemali Sa’o Pile tergolong tipologi rumah panggung, terdiri dari dua lantai yang mana bertitikan pada ruang tengah yang ditandai oleh adanya ruang suci yang dikeramatkan. Secara horizontal, pola ruang rumah pemali(Sao Pile) selalu dikaitkan dengan kehidupan profan, dengan tuntutan aktivitas seperti, makan bersama, memasak (Dika) dan bersosialisasi. Sedangkan secara vertikal selalu berhubungan dengan hal-hal kosmik dan sakral, karena pada ruangan tersebut juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan aktivitas adat (Upacara adat) yang bersifat sakral dan suci.
            Disisi lain, secara adat istiadat Wajo terdapat pemisahan ruang yang memiliki sejumlah larangan, misalnya pembagian ruang masak (Wanita tidak boleh melewati pembatas antara ruang Dika/dapur dalam rumah pemali) yang dipisahkan oleh sebatang bambu dengan ukuran yang berbeda. Secara Vertikal arsitektur Wajo ini ditandai dengan adanya ruang upacara adat (ruang suci) yang dipisahkan oleh sebatang balok melintang. Dalam sumbu vertikal ini sangat jelas membedakan fungsi suatu ruang dari atas ke bawah atau dari yang keramat (pemali) sampai yang biasa. Hal ini merupakan manifestasi dari dunia atas (dunia para dewa atau leluhur), dunia tengah (tempat manusia) dan dunia bawah (binatang dan roh jahat).
Tatanan pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) adat Wajo juga pada dasarnya memiliki konsep dan hierarki ruang yang identik sama dengan pola atau hirarki pada tata ruang dalam rumah pemali(Sao Pali). Inti dari ruang luar ini pada pola tapak “Pondo” adalah kehadiran bangunan megalitik, Pu’u Peo, Peo Aki dan juga pelataran terbuka dalam lingkup kosmik gagasan Masyarakat Wajo dari jaman leluhur terdahulu.
            Bapak Blasius Mbusa ornament dan Ragam Hias pada Arsitektur Tradisional (Vernakular) adat Wajo yang terdapat dalam Rumah pemali (Sa’o Pile) memiliki banyak makna, norma, serta larangan tertentu sesuai perletakan yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu pula dari bangunan tersebut. Dari segi bentuk ragam hias ini sangat bervariasi, yakni berupa garis lurus, garis lengkung (dengan komposisi tertentu), belah ketupat, flora (Kuntum bunga), fauna (binatang), manusia (sosok manusia, organ tertentu wanita, seperti payudara, dan patung, serta benda-benda langit (bulan, bintang, dan matahari). Ragam hias dengan komposisi garis-garis lengkung umumnya bersosok sesuatu benda yang menunjukkan keberadaan benda-benda pusaka atau benda berharga lainnya yang tersimpan di dalam rumah pemali (Sao Pile) (wawancara 1 Desember 2016).


PENUTUP

            Karakteristik Arsitektur Sao Pile di kampung Wajo dipengaruhi oleh tata letak dan pola perkampungannya, yang mana dari keadaan topografi kampung wajo ini menjadi penentuan hierarki (kedudukan) rumah Pemali (Sa’oPile), bangunan megalitik, serta pelataran kegiatan ritual adat. PolaPerkampungan adat wajo mengacu pada symbol persatuan yang kuat, yakni lingkaran, “PONDO” artinya “PERIUK”, perihal Sa’o Pile dan Pu Peo menjadi sentral orientasi bangunandisekitarnya.
Secara hierarki, dalam pola perkampungan adat wajo, rumah adat (“Sa’o Pilei”) dan Peo kedudukannya pada kontur yang paling tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh falsafah adat istiadat Masyarakat Wajo, bahwa ‘kepala sandar di gunung’ (bagian Utara), ‘kaki topang di laut’ (bagian Selatan) “Udu mbeli kedi-ai ndeli mesi”, yang mengibaratkan situasi Arsitektur serta Pola perkampungan sebagai seekor Ular yang merupakan penunggu atau pelindung kampung adat Wajo. Hal ini membuktikan bahwa Mitis-Magis Masyarakat adat Wajo menjadi arahan serta pedoman dalam berarsitektur.
            Sa’o Pile (Rumah Pemali) merupakan tempat ritual adat dan tempat tinggal Roh Leluhur dengan fungsi tertentu pula. Denah bangunan Sa’o Pile adalah persegi empat dengan dimensi 8m X 6m, berbentuk rumah panggung dan terdiri dari 2 lantai bangunan. Secara khusus orientasi rumah pemali berdasarkan falsafah dan juga mitos, yakni Utara harus menghadap Gunung dan sebelah Selatan menghadap Sungai’. Sa’o Pile berada pada posisi yang paling tinggi, karena itu menjadi sentral yang mengarahkan pada Retha atau Mathemudu dedoe (Nenek Moyang dan Sang Pencipta).



DAFTAR INFORMAN
1.      Nama               : Blasius Mbusa
Umur               : 31
            Pendidikan      : S1
            Pekerjaan          :  Pegawai dinas PPO Kab. Ngada
2.      Nama               :  Petrus Ndapa
Umur               : 40
            Pendidikan      : S1
            Pekerjaan          : Guru
3.      Nama               : Dominikus Jawa
Umur               : 39
            Pendidikan      : S2
            Pekerjaan         : Dosen






LAMPIRAN


Patung Ana Jeo


Pemukiman Kampung Wajo


Sao Pile, rumah adat kampung wajo

11 komentar:

  1. tulisan yang anda tulis sudah bagus sekali singkat dan jelas. terimakasih atas informasinya yang sangat berguna bagi saya. mungkin saya mau bertanya mengenai bahan-bahan yang digunakan untuk menunjang bangunan atau arsitektur tersebut apakah memanfaatkan sumber daya alam yang ada di daerah tersebutkah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih irfan, bahan yang digunakan untuk mendirikan sao pile memanfaat sumber daya alam yang ada di daerah tersebut. hal ini dipengaruhi oleh adat istiadat yang masih bersifat tradisional

      Hapus
  2. Wah informasinya sangat menarik, membuat saya termotivasi untuk kesana melihatnya secara langsung, dari informasi diatas US, saya tertarik akan keberadaan 2 patung yang dapat mempengaruhi atas pola arsitektur sao pile, seberapa besar kah pengaruh adanya patung tersebut, dan apabila patung tersebut lenyap atau tidak ada itu bagaimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. berkaitan dengan patung, masyarakat percaya bahwa patung tersebut merupakan manifestasi dari nenek moyang mereka, sehingga eksistensi patung tersebut sangatlah besar pengaruhnya

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. terima kasih us saya mau bertanya tentang pola perkampungan yang berbentuk lingkaran yang melambangkan kesatuan.kira-kira mengapa berbentuk lingkaran itu melambangkan kesatuan dan juga apakah lingkaran (melambang kesatuan) ada keterkaitan dengan acara adat? mohon penjelasannya terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. berkaitan dengan pola pemukiman yang berbentuk lingkaran, hal ini merupakan simbol dari lipatan naga yang dipercaya masyarakat sebagai penjaga kampung tersebut.

      Hapus
  6. Terimakasih pak, postingan nya sangat membantu penetilian saya tentang desa ini :)

    BalasHapus
  7. Terima kasih pak untuk informasi ttg kampung adat wajo,ini sangat brguna bagi kami yg baru blajar arsitektur vernakular. Saya mau brtnya pak, apakah struktur dan konstruksi atap, dinding serta tiang2 pada rumah2 di kampung adat wajo memiliki fungsi tersendiri?
    Terima kasih pak

    BalasHapus
  8. Saudara penulis,,saya sangat senang atas sumbangan yg berharga berupa penelitian dan tulisan ini. Saya senang karena masih ada yg begitu peduli dengan adat dan kebuadayaan yg kian hari kian ditinggalkan. Informasi yg dibagikan ini diharapkan bisa membuat kita generasi muda kembali mencintai kekayaan budaya kita, dari manapun kita berasal, dan harapannnya lebih banyak lagi yg menulis atau meneliti kebudayaan di daerah masing2 agar saling memperkaya buat kita semua. Saya kebetulan orng wajo yang merupakan tempat penelitian saudara,merasa sangat senang dengan tulisan ini. Saya hanya ingin memberi masukan saja soal 1. Nama tempat yg ditulis saudara ada beberapa yg keliru
    2. Istilah adat dan bahasa yg ditulis ada beberapa yg belum tepat.
    3. Dari beberapa tokoh yg diwawancarai belum terdapat tetua adat yg paling berpengaruh, misalnya ketua suku, dll.
    Dengan kerendahan hati saya juga mengapresiasi usaha penelitian dan penulisan ini. Terima kasih

    BalasHapus