MAKNA PRASADA PADA PURA PURUSADA BAGI MASYARAKAT DESA KAPAL
(studi etnografi)
Oleh Ni Kadek Astasari
1401405003
Pengantar.
Pura Sada sering disebut dengan Pususadha, berlokasi di
Banjar Pemebetan Desa Kapal Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung. Pura Sada merupakan
salah satu situs cagar budaya yang dilindungi. Menurut beberapa sumber, nama
pura yang merupakan salah satu pura kahyangan jagat ini kemungkinan diambil
dari palinggih prasada yang terdapat di uttamaning mandhala. Palinggih tersebut
berbentuk pejal bertingkat-tingkat seperti limas berundak dengan ketinggian
sekitar 16 meter. Di pura ini distanakan arca Dewata Nawa Sanga. Candi bentar
pura ini memiliki kemiripan dengan gaya bangunan candi di Jawa Timur.
Di
sekeliling candi terdapat beberapa bangunan suci, di antaranya palinggih
Padarman Kerajaan Mengwi, palinggih Pasek, Ratu Panji Sakti dari Buleleng,
palinggih Gusti Ngurah Celuk dan lainnya. Kehadiran beberapa palinggih yang
mengitari candi, bisa dimaknai bahwa Pura Purusada juga berfungsi sebagai
tempat pemersatu warga dari berbagai golongan. Ada juga yang mengait-ngaitkan
tempat suci ini dengan kedatangan Danghyang Nirartha di Bali.
Sekitar tahun 1489 Masehi, Maharsi dari Jawa Timur memang sempat mampir ke pura yang diempon sekitar 2.500 KK. Kala itu, sang Maharsi yang di Bali juga kerap disebut Danghyang Dwijendra, datang ke Pura Taman Sari di wilayah Mengwi. Mendengar ada orang suci datang dan kebetulan di Pura Purusada saat itu sedang berlangsung upacara, akhirnya Bandesa Sukra atau lumrah pula dipanggil Bandesa Ganggangan yang saat itu memegang tampuk pimpinan di Desa Pakraman Kapal, mendatangi Danghyang Dwijendra. Bandesa ini mohon supaya sang Maharsi bersedia muput upacara di Pura Sadha. Permintaan Bandesa Ganggangan disanggupi. Danghyang Dwijendra akhirnya ikut muput piodalan di Pura Purusada.
Jadi, Maharsi Dwijendra hanya singgah dan bukan pendiri Pura Purusada, mengingat pura ini sudah ada jauh sebelum orang suci ini datang ke Bali. Sebagai penguat terdapat Purana Kahyangan Purusada, yang di dalamnya ada menyebutkan Pura candi Purusada, yang berlokasi di jagat Kapal, sebagai stana lingga Ida Batara Guru, yang menjadi awal jagat Bali serta sebagai stana Ida Dewi Manik Galih beserta swaminya Ida Raja Purusadha.
Sekitar tahun 1489 Masehi, Maharsi dari Jawa Timur memang sempat mampir ke pura yang diempon sekitar 2.500 KK. Kala itu, sang Maharsi yang di Bali juga kerap disebut Danghyang Dwijendra, datang ke Pura Taman Sari di wilayah Mengwi. Mendengar ada orang suci datang dan kebetulan di Pura Purusada saat itu sedang berlangsung upacara, akhirnya Bandesa Sukra atau lumrah pula dipanggil Bandesa Ganggangan yang saat itu memegang tampuk pimpinan di Desa Pakraman Kapal, mendatangi Danghyang Dwijendra. Bandesa ini mohon supaya sang Maharsi bersedia muput upacara di Pura Sadha. Permintaan Bandesa Ganggangan disanggupi. Danghyang Dwijendra akhirnya ikut muput piodalan di Pura Purusada.
Jadi, Maharsi Dwijendra hanya singgah dan bukan pendiri Pura Purusada, mengingat pura ini sudah ada jauh sebelum orang suci ini datang ke Bali. Sebagai penguat terdapat Purana Kahyangan Purusada, yang di dalamnya ada menyebutkan Pura candi Purusada, yang berlokasi di jagat Kapal, sebagai stana lingga Ida Batara Guru, yang menjadi awal jagat Bali serta sebagai stana Ida Dewi Manik Galih beserta swaminya Ida Raja Purusadha.
Di Pura
Purusada tempat mohon kahuripan manusia di tanah Bali, makanya pura ini menjadi
pusering jagat Bali. Kesimpulannya Pura Purusada sudah terbangun jauh sebelum
Majapahit menguasai Bali. Sebagai kahyangan jagat, Pura Purusada memiliki
tempat suci pasanakan, yakni Pura Dalem Bhangun Sakti yang berada di Banjar
Basangtamiang Kapal.
Keterikatan antara kedua pura ini begitu melekat. Saat berlangsung upacara di Pura Sadha, maka Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti, arca (pralingga) plus patapakan barong, diusung ke Pura Sadha. Kalau di Pura Dalem Bhangun Sakti berlangsung piodalan, maka krama pangempon tempat suci ini terlebih dulu ngatur piuning (memberitahukan) sekaligus mohon tirta di Pura Purusada.
Pura Purusada ini dibangun oleh Raja Mengwi sekitar abad ke-18 untuk menghormati leluhur keluarga kerajaan yakni Prabu Jayengrat. Pura ini sempat hancur saat gempa bumi tahun 1917, namun di tahun 1949, pura tersebut dibangun kembali. Rehab Pura Sada juga dikatakan sempat beberapa kali dilakukan jauh sebelum periode tersebut. Pada tahun 1260 Isaka, pura ini direhab pada masa pemerintahan Dalem Bali Mula dengan rajanya bergelar Asta Sura Ratna Bumi Banten. Konon, ketika itu, diutuslah Kebo Wayu Pawarangan atau Kebo Taruna untuk datang ke Kapal guna memperbaiki pura tersebut. Di akhir tugasnya merehab Pura Sada, Kebo Iwa (Karang Buncing) sempat membuat tempat pemujaan atau dharma pengastulan di sebelah tenggara Pura Sada. Dharma pengastulan ini sebagai tempat pemujaan warih atau pertisentana Karang Buncing sebelah barat Tukad Yeh Ayung. Selain itu, Pura Sada juga direhab tahun 1400 Masehi pada zaman Kerajaan Pangeran Kapal-Beringkit. Rehab berikutnya berlangsung pada tahun 1600an. Piodalan di Pura Sada dilaksanakan tiap enam bulan sekali setiap Tumpek Kuningan.
Keterikatan antara kedua pura ini begitu melekat. Saat berlangsung upacara di Pura Sadha, maka Ida Batara di Pura Dalem Bhangun Sakti, arca (pralingga) plus patapakan barong, diusung ke Pura Sadha. Kalau di Pura Dalem Bhangun Sakti berlangsung piodalan, maka krama pangempon tempat suci ini terlebih dulu ngatur piuning (memberitahukan) sekaligus mohon tirta di Pura Purusada.
Pura Purusada ini dibangun oleh Raja Mengwi sekitar abad ke-18 untuk menghormati leluhur keluarga kerajaan yakni Prabu Jayengrat. Pura ini sempat hancur saat gempa bumi tahun 1917, namun di tahun 1949, pura tersebut dibangun kembali. Rehab Pura Sada juga dikatakan sempat beberapa kali dilakukan jauh sebelum periode tersebut. Pada tahun 1260 Isaka, pura ini direhab pada masa pemerintahan Dalem Bali Mula dengan rajanya bergelar Asta Sura Ratna Bumi Banten. Konon, ketika itu, diutuslah Kebo Wayu Pawarangan atau Kebo Taruna untuk datang ke Kapal guna memperbaiki pura tersebut. Di akhir tugasnya merehab Pura Sada, Kebo Iwa (Karang Buncing) sempat membuat tempat pemujaan atau dharma pengastulan di sebelah tenggara Pura Sada. Dharma pengastulan ini sebagai tempat pemujaan warih atau pertisentana Karang Buncing sebelah barat Tukad Yeh Ayung. Selain itu, Pura Sada juga direhab tahun 1400 Masehi pada zaman Kerajaan Pangeran Kapal-Beringkit. Rehab berikutnya berlangsung pada tahun 1600an. Piodalan di Pura Sada dilaksanakan tiap enam bulan sekali setiap Tumpek Kuningan.
Pura Sada terdiri dari Tri Mandala yaitu
utamaning mandala (jeroan), madyaning utama (halaman tengah) dan nistaning
mandala (jaba sisi). Di antara halaman tengah dan halaman utama terdapat candi
kurung, sedangkan antara halaman tengah dengan jaba sisi terdapat candi bentar.
Di utamaning mandala terdapat pelinggih Padmasana, Pesimpangan Batara Gunung
Batur, Pesimpangan Gunung Agung, Pesimpangan Batukaru, Pelinggih Batara Manik
Galih, Pelinggih Batara di Pura Sakenan, pelinggih atau candi Prasada, bale
penyimpenan, bale pesambyangan, pawedan, bale piyasan, pelinggih Tri Murti,
pesimpangan I Gusti Ngurah Celuk, Ratu Made, Ratu Made Sakti Blambangan, Ratu
Ngurah Panji Sakti, bale piyasan, Pura Teratai Bang dan sebagainya. Selain itu
terdapat juga Tugu Bala Satya dan Mekel Satya yang merupakan simbolisasi dari
pengikut setia dari Putra Raja Mengwi yang berjumlah 64 buah.
Pelinggih yang khas di pura ini adalah Prasada. Prasada itu
merupakan pelinggih Ida Batara Pasupati atau Siwa Guru atau Sang Hyang Lingga
Buwana atau Sang Hyang Druwaresi.
Sementara di madyaning mandala terdapat gedong pererepan, bale sumanggen, bale gong. Biasanya sesuhunan di Pura Natar Sari Apuan-Tabanan, Pura Pucak Kembar Pacung Baturiti dan Pura Pucak Padangdawa Desa Bangli-Baturiti Tabanan tatkala lunga ke jaba jero serangkaian pujawali, marerepan di pura ini dan kalinggihang di sebuah pelinggih di madyaning mandala. Sementara di jaba sisi terdapat pelinggih Ratu Made Sedahan.
Sementara di madyaning mandala terdapat gedong pererepan, bale sumanggen, bale gong. Biasanya sesuhunan di Pura Natar Sari Apuan-Tabanan, Pura Pucak Kembar Pacung Baturiti dan Pura Pucak Padangdawa Desa Bangli-Baturiti Tabanan tatkala lunga ke jaba jero serangkaian pujawali, marerepan di pura ini dan kalinggihang di sebuah pelinggih di madyaning mandala. Sementara di jaba sisi terdapat pelinggih Ratu Made Sedahan.
Pembahasan.
Pura adalah tempat suci agama Hindu, yang sering pula di
dalamnya ada Palinggih yang berbentuk Candi atau Prasada. Sebelum
datangnya pengaruh Hindu di Indonesia, nenek moyang bangsa Indonesia telah
mengenal berbagai macam upacara yang berhubungan dengan kehidupan rokhani
dewasa itu. Terutama tentang pemujaan terhadap roh nenek moyang, dengan
mendirikan bangunan-bangunan yang berbentuk teras piramid, pada lereng atau
puncak pegunungan, yang menunjukkan adanya suatu anggapan, bahwa gunung adalah
tempat keramat sebagai alam arwah. Sedangkan bagaimana bentuk upacara saat itu
sampai sekarang belum diketahui bentuknya dengan pasti.
Kemudian pada jaman perkembangan
kebudayaan Hindu, anggapan tentang gunung yang merupakan tempat roh nenek
moyang masih tetap dilanjutkan, disamping gunung juga dianggap sebagai tempat
dewa-dewa. Untuk keperluan pemujaan terhadap dewa-dewa, dewa-dewa itu diimaginasikan
dalam bentuk arca-arca, yang kemudian ditempatkan dalam suatu bangunan yang
didirikan dengan mengambil bentuk tiruan dari tempat dewa-dewa yang sebenarnya,
yaitu gunung Mahameru, yang kemudian dikenal dengan nama prasada atau yang lebih dikenal masyarakat
dengan sebutan candi.
Prasada
merupakan suatu bangunan sebagai tempat sementara dari dewa-dewa yang merupakan
replika (bentuk tiruan) dari gunung Mahameru. Karena itu, seni
arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias
yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang
disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya
cipta, dan keterampilan para pembuatnya.
Disamping
itu prasada pada Pura Purusada juga merupakan lambang alam semesta dengan tiga
bagiannya, kaki Candi melambangkan alam bawah, badan Candi melambangkan alam
tengah dan atap Candi, sebagai alam atas. Kaki candi merupakan bagian bawah
candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus
seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat
nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang
pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk denahnya
yang berbentuk persegi empat. Pada bagian kiri-kanan tangga masuk dihiasi
ukiran makara.
Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa
sulur-sulur tumbuhan. Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama
biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih. Tubuh candi adalah bagian tengah candi
yang berbentuk kubus
yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwahloka.
Yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan
dan kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju
ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah
pintu. Tubuh candi terdiri dari garbagriha,
yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca dewata nawa sangga
yang dipuja di candi itu. Atap candi
adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swahloka. Yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa
dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi
terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya.
Selain itu,
prasada pada Pura Purusada juga dapat melambangkan Eka Dasa Aksara, yakni
sebelas aksara suci dalam doa mantra yang sering Pancaksara digabungkan dengan
Panca Brahma Wijaksara dan ditambah Om sehingga berbunyi : Om, Sa, Ba, Ta, A,
I, Na, Ma, Si, Wa, Ya. Dikatakan
sebagai lambang Eka Dasa Aksara karena Prasada yang terdapat pada Pura Purusada
atapnya yang bertingkat sebelas. Eka Dasa Aksara juga merupakan sumber dari kekuatan alam semesta yang
terletak di dalam tubuh kita (bhuana alit) ataupun dalam jagat raya ini (bhuana
agung).
Bagi
beberapa masyarakat desa Kapal, prasada yang terdapat pada Pura Purusada juga
merupakan tempat untuk pemujaan Dewata Nawa Sangga termasuk Siwa. Di
pura ini distanakan arca Dewata Nawa Sangga. Delapan arca dewa distanakan di
delapan arah pada atap pertama. Sedangkan arca Siwa diletakkan pada atap kedua
di arah barat di atas arca Mahadewa. Dewata Nawa Sangga adalah sembilan dewa atau manifestasi Ida
Sang Hyang Widhi Wasa yang menjaga atau menguasai sembilan penjuru mata angin.
Sembilan dewa itu adalah Dewa Wisnu sebagai penguasa Arah Utara atau Uttara,
Sambhu sebaga penguasa Arah Timur Laut atau Airsanya, Iswara
sebagai penguasa Arah Timur atau Purwa, Maheswara sebagai
penguasa Arah Tenggara atau Gheneya, Brahma sebagai penguasa Arah
Selatan atau Daksina, Rudra sebagai penguasa Arah Barat Daya atau
Nariti, Mahadewa sebagai penguasa Arah Barat atau
Pascima , Sangkara sebagai penguasa Arah Barat Laut atau
Wayabhya, dan Siwa sebagai penguasa Arah Tengah atau Madya.
SUMBER
Data
penelitian ini diperoleh dari beberapa narasumber yang merupakan pengempon Pura
Purusada Kapal,yaitu :
1.
I Ketut Sudarsana
2.
I Nyoman Nuada
3.
A.A Gde Dharmayasa
4.
I Made Reta
hai asta, mau bertanya tentang ciri khas dan ragam hias apa saja yang terdapat pada pura purusada ini? makasi
BalasHapushai tika, terima kasih pertanyaannya
Hapusprasada pura purusada ini memiliki ciri khas bertingkat 11 serta didalamnya terdapat arca dewata nawa sanga. ragam hias dari prasada ini sama seperti prasada pada umumnya. Bahan utama pembuatan prasada ini adalah batu bata, batu padas, kayu dan ijuk. Ragam hiasnya terdapat sulur-suluran tumbuhan, kura-kura, gajah serta terdapat relief naga.
asta, ada gak makna khusus adanya prasada tersebut bagi masyarakat kapal?
BalasHapushai bella , terima kasih pertanyaannya
Hapusmakna khusus prasada bagi masyarakat kapal adalah sebagai lambang dewata nawa sanga karena terdapat arca dewata nawa sanga pada prasada tersebut. Dewata nawa sanga diyakini oleh umat Hindu sebagai dewa pelindung di setiap penjuru arah mata angin. Jadi dengan adanya arca dewata nawa sanga pada prasada pura purusada maka masyarakat kapal merasa bahwa selalu dilindungi oleh para dewa di setiap penjuru arah mata angin.
oke ta, makasih
Hapusasta,
BalasHapusapa saja pola hias dan ukiran yang terdapat pada prasada tersebut?
dan makna nya apa saja yang terkandung dalam pola hias dan ukiran pada prasada tersebut?
terimakasih
hai selamat pagi asta. saya mau menanyakan apa arti dari nama pura sada atau purusada? dan bagaimana pura ini mendapat sebutan pura khayangan? terima kasih dan selamat pagi
BalasHapus