MAKNA
INSTRUMENT SUNTIANG (SUNTING) PADA PAKAIAN ADAT MINANGKABAU
(SUMATRA
BARAT)
TINJAUAN
ETNOARKEOLOGI
ATIKA
NOVIANA
1401405004
ARKEOLOGI
ABSTRAK
Bab ini mengeksplorasi sejarah masing-masing dari
kedua ETNOARKEOLOGI dan arkeolog dari masa lalu kontemporer. Di permukaan dua
subdisiplin tampaknya memiliki banyak kesamaan, mereka berdua terlibat dalam
studi tentang masyarakat masa kini dan masa lalu. Namun, metodologi yang
masing-masing mempekerjakan dalam tujuan ini, sebagai akibat dari pilihan
sejarah tertentu yang praktisi setiap subdisiplin dibuat, sangat berbeda.
Praktisi arkeolog dari masa lalu kontemporer umumnya menggunakan metodologi
arkeologi yang dikembangkan dari ETNOARKEOLOGI Amerika pada 1980-an, sementara
ETNOARKEOLOGI pasca-prosesual di Inggris melakukan perbaikan besar-besaran dari
ide-ide ini. Dikatakan bahwa arkeolog dari masa lalu kontemporer bisa
memperoleh banyak dari pemahaman tentang perkembangan terbaru dalam
ETNOARKEOLOGI berkenaan dengan metodologi dan etika representasi, karena mereka
memiliki dari ETNOARKEOLOGI prosesual.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Arkeologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia pada masa lampau melalui
benda tinggalannya.
Etnografi merupakan
kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya
tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian
yang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian
perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok
masyarakat.
Etnoarkeologi
adalah cabang ilmu atau disiplin imu arkeologi yang mempelajari dan menggunakan
data etnografi untuk menangani atau membantu memecahkan masalah-masalah
arkeologi dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang masa lalu. Dengan
menggunakan teknik ethnoarchaeological, maka para arkeolog mencoba untuk
menghubungkan masa lalu dengan masa kini.
Dalam studi etnoarkeologi, dikenal dua
macam pendekatan yaitu :
1. Pendekatan
kesinambungan sejarah budaya (direct historical approach). Pendekatan ini
berdasarkan pada budaya yang masih berjalan sekarang atau masih dapat kita
lihat adalah merupakan perkembangan budaya pada masa lalu. Oleh karena itu,
pendekatan ini akan berarti jika data etnoarkeologi dengan data arkeologi
saling berkaitan sejarahnya. Oleh karena itu penelitian etnohistori sangat
diperlukan.
2. Pendekatan
perbandingan umum (general comparative approach), pendekatan ini didasari oleh
pandangan bahwa hubungan antara budaya materi dengan pendukungnya telah punah
dengan budaya materi yang ada sekarang mempunyai persamaan bentuk masih dapat
dilakukan meskipun tidak mempunyai kaitan sejarah ruang maupun waktu.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan suntiang (sunting)?
2.
Apa saja komponen yang terdapat pada suntiang (sunting)?
3.
Bagaimana cara mengaplikasikan suntiang (sunting)?
4.
Apa saja jenis dan ragam suntiang (sunting)?
5.
Apa makna dari suntiang (sunting)?
Tujuan Penelitian
1.
Dapat mengetahui pengertian dari suntiang (sunting)
2.
Mengetahui komponen apasaja yang terdapat pada suntiang (sunting)
3.
Mengetahui cara mengaplikasikan suntiang (sunting)
4.
Mengetahui jenis dan ragam dari suntiang (sunting)
5.
Mengetahui makna yang terkandung pada pemakaian suntiang (sunting)
PEMBAHASAN
Pada kajian etnoarkeologi ini saya membahas pada
pendekatakan emik (benda yang bersifat faktual) yaitu tentang “Makna Instrument
Suntiang (Sunting) pada pakaian adat Minangkabau Sumatera Barat”.
Sunting atau sering
disebut dengan kata suntiang merupakan
kata yang berasal dari bahasa Minang Sumatera Barat. Sunting atau suntiang
merupakan instrument yang menjadi dasar atau penting pada pakaian adat wanita
minang terutama “anak daro” (pengantin wanita) dalam acara pernikahan
atau disebut dengan kata baralek (resepsi pernikahan). Dalam adat Minangkabau,
pernikahan merupakan salah satu masa peralihan yang sangat berarti karena
merupakan permulaan masa seseorang melepaskan diri dari kelompok keluarganya
untuk membentuk kelompok kecil milik mereka sendiri. Karena itu peristiwa
pernikahan sangatlah penting bagi siklus kehidupan seseorang termasuk oleh
orang Minangkabau.
Hari tersebut
merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh kedua calon mempelai dan keluarga
dari kedua belah pihak. Ditandai dengan prosesi upacara adat dan keagamaan yang
sesuai dengan pepatah minang “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Seluruh rangkaian upacara pernikahan adat, perlengkapan, tata rias membutuhkan
persiapan yang lama dan sangat terperinci.
Seperti yang telah
dijelaskan diatas, di Minangkabau pada umumnya “anak daro” (pengantin
perempuan) menggunakan suntiang (sunting).
Suntiang (sunting)
adalah hiasan kepala pengantin perempuan di Minangkabau Sumatera Barat. Hiasan
yang besar warna keemasan atau keperakan yang khas itu, membuat pesta
pernikahan (baralek) budaya Minangkabau berbeda dari budaya lain di Indonesia.
Perempuan Minangkabau mesti bangga dengan budaya minangkabau, terutama soal
pakaian pengantin. Secara turun temurun, busana pengantin Minangkabau sangat
khas, terutama untuk perempuannya, yaitu selain baju adat-nya baju kurung
panjang dan sarung balapak, tak ketinggalan suntiang.
Suntiang (sunting)
memang biasanya langsung diasosiasikan dengan kata “berat”. Wajar karena suntiang itu terbuat dari lempengan
logam. Pada zaman modern ini orang-orang sudah mulai kreatif dengan menciptakan
suntiang dari bahan plastik, kurang lebih seperti payet sehingga membuat
pemakainya tidak menanggung beban yang berat lagi saat dikenakan dikepala.
Walaupun demikian,
orang-orang kebanyakan terutama anak daro (pengantin wanita) dalam acara
pernikahan atau baralek lebih suka memakai yang logam, walaupun itu memberikan
beban yang jauh lebih berat di bandingkan yang terbuat dari plastik. Karena
dalam segi warna maupun bentuk lebih bagus yang asli logam dari pada yang
terbuat dari plastik. Warna yang terdapat pada suntiang yang terbuat dari
plastik lebih ke warna kuning dan tidak keemasan, sehingga dapat mengurangi
unsur estetika suntiang saat memakainya.
Suntiang adalah
salah satu bentuk hiasan kepala anak daro. Suntiang yang dipakai secara umum
sekarang biasa disebut suntiang gadang. Nama ini untuk membedakan dengan
suntiang ketek (kecil) yang biasa dipakai oleh pendamping pengantin yang
disebut pasumandan.
Keindahan Suntiang
diawali dengan susunan kembang goyang yang digunakan oleh tiap pengantin
wanita. Pada lapisan bawah Suntiang digunakan kembang goyang yang dinamakan Bungo
Sarunai yang terdiri dari tiga hingga lima deretan. Lapisan kedua digunakan
kembang goyang yang dinamakan Bungo Gadang yang juga terdiri dari tiga
hingga lima deretan. Terletak paling atas adalah Kambang Goyang dengan
hiasan-hiasan lainnya yang disebut Kote-kote. Di bagian belakang sanggul
terdapat Tatak Kondai dan Pisang Saparak yang menutupi sanggul
bagian belakang. Sedangkan di dahi pengantin wanita terdapat Laca, dan Ralia di
bagian telinga.
Suntiang juga ada
beberapa bentuk. Selain yang standar berbentuk setengah lingkaran yang umum
dipakai, juga ada suntiang khas masing-masing daerah di Sumatera Barat. Di
antaranya suntiang Sungayang (Tanah Datar) yang memiliki mahkota,
suntiang kurai (Bukittinggi), suntiang Pariaman, dan Solok Selatan, dan Suntiang
Solok yang dirangkai tanpa kawat.
Dahulu, berat sunting
mencapai beberapa kilogram sebab terbuat dari alumunium dan besi-besi,
ada yang terbuat dari emas, dan harus ditancapkan satu persatu pada rambut
mempelai wanita. Memakai suntiang kerap kali juga salah satu yang
ditakutkan calon pengantin perempuan Minang atau yang biasa disebut anak daro.
Suntiang (sunting) yang beratnya bisa mencapai 3,5-5 kg (jadi hampir sama
dengan berat topi baja militer) dan mesti dikenakan di kepala selama pesta
berlangsung umumnya sehari-semalam, membuat si calon pengantin perempuan yang
disebut ‘anak daro’ was-was dan cemas akan tidak sanggup menjalankannya.
Bayangkan kalau dipakai selama satu dua jam. Bahkan bisa berkeringat dan bikin
anak daro (pengantin perempuan) meringis. Namun semakin modernnya fashion,
suntingpun ikut terkena imbasnya, tapi tetap berkiblat pada budaya
Minangkabau. Bahkan sekarang sunting tersedia yang tak berat dan nyaris
seperti menggunakan bando biasa saja, sehingga anak daro lebih santai dan
bergerak leluasa tanpa keluhan sakit kepala.
Suntiang (sunting)
sendiri dirangkai menggunakan kawat ukuran satu perempat yang dipasang pada
kerangka seng aluminium seukuran kepala. Pada kawat itu dipasang sedikitnya
lima jenis hiasan. Kelima hiasan itu dinamakan suntiang pilin (sunting
pilin), suntiang gadang (sunting besar), mansi-mansi (kawat-kawat),
bungo (bunga), dan jurai-jurai. Besarnya sebuah suntiang diukur
dengan jumlah mansi atau kawat. Suntiang paling besar ukurannya 25
mansi, kemudian 23 mansi, dan 21 mansi yang paling umum dipakai saat ini.
Suntiang yang dibuat juga dibagi tiga jenis berdasarkan bahan.
Yang lebih berat
dan mahal yang masih dibuat saat ini terbuat dari mansi padang (sejenis seng
aluminium kuningan). Kemudian mansi kantau atau biasa, dan yang sekarang mulai
banyak dipakai, terutama untuk pelajar, suntiang dari plastik yang jauh lebih
ringan. Tapi yang paling bagus sebaiknya nanti dibuat dari titanium, sayangnya
masih mahal.
Suntiang (sunting)
tidak terlepas dari seperangkat pakaian limpapeh Rumah nan Gadang di
Minangkabau. Suntiang ini dipakai oleh anak gadis yang berpakaian adat maupun
oleh pengantin wanita (anak daro). Mengenai jenis dan nama suntiang (sunting)
ini terdiri dari berbagai ragam.
Secara garis besar jenis suntiang
(sunting) ini terdiri dari 4 yaitu :
1. Suntiang bungo pudiang (sunting
berbunga puding)
2. Suntiang pisang saparak (sunting pisang
sekebun)
3. Suntiang pisang saikek (sunting pisang
sesisir)
4. Suntiang kambang loyang (sunting
kembang loyang)
Dari segi ikat
(dandanan) dengan segala variasinya suntiang (sunting) ini dapat pula dibedakan
menjadi suntiang ikek pesisir (sunting ikat Pesisir), suntiang ikek Kurai
(sunting ikat Kurai), suntiang ikek Solok Selayo (sunting ikat Solok Selayo),
suntiang ikek Banuhampu Sungai Puar (sunting ikat Banuhampu Sungai Puar), suntiang
ikek Limo Puluah Koto (sunting ikat Lima Puluh Kota), suntiang ikek Sijunjuang
Koto Tujuah (sunting ikat Sijunjung Kota Tujuh), suntiang ikek Batipuah
Sapuluah Koto (sunting ikat Batipuh Sepuluh Kota), suntiang ikek Sungayang
(sunting ikat Sungayang), dan suntiang ikek Lintau Buo (sunting ikat Lintau
Buo).
Suntiang
ikek bungo pudiang (sunting
ikat bunga puding) banyak dipakai didaerah Batipuh Tanah Datar. Suntiang
pisang separak (sunting pisang sekebun) banyak dipakai didaerah Luhak Lima
Puluh Kota, Solok, Sijunjung Koto Tujuh, dan Sungai Pagu. Suntiang pisang
sasikek (sunting pisang sesisir) banyak dipakai di daerah Pesisir. Suntiang
kambang loyang (sunting kembang loyang) banyak dipakai di daerah
lain.
PENUTUP
Kesimpulan
Suntiang merupakan hiasan kepala yang menjadi ciri
khas dari daerah Minangkabau pesisir yang selalu di pakai oleh pengantin
wanita. Suntiang ini selalu menjadi daya tarik karena memang salah satu hiasan
terindah yang tidak dimiliki oleh pengantin wanita di daerah-daerah lain. Jadi
wajar kalau benda yang dipakai ini selalu menjadi pesona terindah bagi yang
melihatnya.
Dengan bentuk yang unik dan penggunaan bahannya yang
sangat indah menjadikan si pengantin wanita terlihat seperti puteri kerajaan
yang memakai mahkota. Pada lapisan bawah menggunakan kembang goyang atau bungo
sarunai yang biasanya terdiri dari tiga atau lima deretan. Untuk lapisan
keduanya di sebut dengan bungo gadang. Dan bagian atas di sebut kote-kote.
Suntiang pisang saparak dari Solok Selatan ini menggunakan bahan yang berbeda
pula salah satunya seng alumunium kuningan.
Namun, dibalik
beratnya suntiang, bisa dibilang itu melambangkan beratnya beban dan tanggung
jawab yang akan dipikul si anak daro (pengantin wanita) dalam perjalanan
hidupnya sebagai istri dan ibu kelak.
LAMPIRAN :
SUMBER
Wawancara narasumber pembuat suntiang gadang
Wawancara pemilik atau penyewa suntiang anak daro
Buku Budaya Alam Minangkabau (BAM)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusHai tika :) mau nanya nih, itukan ada beberapa suntiang, nah yang paling sering digunakan itu yang mana ?
BalasHapustrimakasih pertanyaannya asta, yang paling sering digunakan itu adalah suntiang gadang karna dilihat dari bentuk dan bahannya lebih mencirikan khas minang dan nilai keindahannya lebih nampak yaitu berbahan emas atau perak.
HapusKeren Suntiangnya. Informatif banget buat anak daro yang ingin nikah khususnya, dan sebuah wawasan baru nih buat orang awan seperti saya.
BalasHapusAda gak makna dari masing-masing komponen suntiang? Dan apakah ada perbedaan makna dan tujuan dari penggunaan Suntiang bungo pudiang, Suntiang pisang saparak, Suntiang pisang saikek, dan Suntiang kambang loyang?
terimakasih atas pertanyaannya bela, jadi makna dari masing-masing komponen suntiang itu terletak pada jumlah tingkatan dari suntiang tersebut yaitu ganjil, dari 3-5 dan 7-11 tetapi untuk makna kenapa harus ganjil saya belum bisa memastikan jawabannya. dan untuk pertanyaan kedua apakah ada perbedaan makna dan tujuan? ada, tetapi itu terletak pada bahan,corak/bentuk,dan adat tiap-tiap daerah itu sendiri. makasi
Hapusapa makna dan tujuannya ?
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDapat diketahui suntiang tersebut memiliki banyak jenis dan motif, nah yang akan saya tanyakan adalah apakah tiap jenis suntiang yang ada dapat menunjukkan status sosial bagi perempuan yang menggunakannya dan disamping itu apakah terjadi pergeseran fungsi dan makna suntiang tersebut?. Sekian terima kasih tik
BalasHapusdahalm makalah diatas yang anda paparkan ,
BalasHapussuntiang adalah salah satu hiasan kepala untuk anak daro, dalam acara pernikahan.
saya mempunyai 2 pertanyaan dalah makalah ini.
1 apakah suntiang tersebut hanya digunakan untuk upacara pernikahan saja dan apakah boleh digunakan untuk acara atau upacara yang lainnya??
2. dalam penggunaan Suntiang pada pernikahan diatas yang dipaparkan di makalah anda yaitu "Pada zaman modern orang-orang menciptakan suntiang dengan bahan plastik, yang sehingga pemakaiannya tidak menanggung berat beban yang digunakan pada saat acara tersebut."
meskipun pengaplikasian plastik payet dengan warna kuning dan tidak keemasan dalam hal visual tidak mengurangi unsur estetika, namun apakah dalah hal sakral bisa berpengaruh ??
mohon penjelasannya. terimakasih
Mau tanya suntiang itu sudah ada sejak tahun berapa? Dan siapa pembuat suntiang pertama kali ?
BalasHapus